Beberapa hari lalu Kompas menerbitkan artikel yang bahkan baru muncul notifnya, belum baca artikelnya, saya udah nangis duluan.

Ini adalah perasaan yang mungkin sulit dibayangkan oleh orang-orang yang tak pernah berada di (meminjam kalimat di artikel tersebut) puncak masalah kesehatan mental.
Kita semua yang mengaku beriman, pasti paham bahwa bunuh diri adalah sesuatu yang terlaknat, dilarang keras dalam agama. Dalam kondisi normal, tanpa pertimbangan agama pun, akal sehat pasti juga tidak akan memandang bunuh diri sebagai solusi atas suatu masalah. Kita (baca: saya) pasti tidak akan melakukannya.
Tapi faktanya, tepat setahun lalu, Rabu 13 September 2023, saya terbangun dengan kondisi sedih luar biasa dan tenggelam dalam pikiran sepertinya akan lebih baik kalau hari itu, saya ngga bangun lagi. Saya larang pak bojo buka korden, ngga sanggup liat sinar matahari masuk, ngga sanggup buka mata. Dan ini adalah ‘serangan’ kedua, setelah Maret 2012 dulu.
Setelah hampir dua jam dalam kondisi begitu, dengan penuh perjuangan, saya kumpulkan sisa-sisa kewarasan, bangun, mandi, lalu ajak pak bojo pergi ke psikiater. Sebenarnya maksa sih, geser semua jadwal kerjanya hari itu.
Ini ngga bener, saya harus cari pertolongan. Dalam kasus saya, yang saya alami ini datangnya tiba-tiba, seperti kilat tiba-tiba menyambar. Malam sebelum tidur, meski memang sedang berada dalam situasi menantang, saya merasa sebenarnya bisa bertahan. Beberapa bulan sebelumnya, di bulan Januari bahkan saya menuliskan pengalaman ‘serangan’ pertama saya dan merasa kondisi sudah membaik Bener-bener ngga menyangka pagi akan bangun dalam kondisi pinggir jurang begini.
Kembali ke artikel yang saya sebutkan tadi. Lalu kemana perginya agama (baca: keimanan) saya? Ini yang mau saya sampaikan, bahwa faktanya, depresi dan bunuh diri bukan hanya soal keimanan.
Dalam kasus saya, terbukti bahwa agama dan keimanan mencegah saya dari perilaku bunuh diri tapi faktor psikologis dan BIOLOGIS tidak serta merta menghilangkan potensi pikiran tentang ngga mau hidup lagi. Mudah-mudahan paham bedanya.
Kompas menulis dengan sangat baik. Bagaimana agama melindungi odgj namun di sisi lain masyarakat justru sering menggunakan agama untuk menstigma. Bahkan pak bojo pun perlu diedukasi lho 😁😁.
Maksudnya mungkin baik, tapi timing-nya yang harus sangat tepat. Masyarakat awam belum tentu tahu kapan waktu yang tepat itu. Jadi, kalau misal kamu punya teman/keluarga yang sedang nyaris jatuh ke jurang. Jangan keluarkan kalimat, “Jangan gitu dong, kaya orang ngga beriman aja!”. Itu ngga membantu sama sekali.
Tanpa mendengar ucapan semacam itu, saya sudah merasa buruk, gagal jadi manusia, gagal jadi orang yang beriman. Saya marah luar biasa ke diri sendiri, kamu kok selemah itu Bubu! Jadi bayangkan, apa yang akan terjadi kalau ditambah-tambahi ‘nasihat’ yang belum perlu tadi?
Jadi pertolongan pertamanya apa? Untuk orang-orang terdekat, temani saja mereka yang sedang struggling, bantu mereka mencari pertolongan profesional, benar-benar temani, karena bahkan untuk perkara sesepele cari makan aja mereka belum tentu sanggup, lagi sama sekali ngga bisa berfungsi.
Saya perlu dibantu obat hari itu, dan beberapa waktu setelahnya untuk mengatasi faktor biologis, ketidakseimbangan neurotransmitter alias cairan kimiawi otak yang bikin pikiran amburadul 😁.
Bersamaan dengan itu, psikiater saya mengingatkan untuk berdamai dengan diri sendiri, terima takdir ujian Allah datang dalam bentuk ini, rapatkan dzikir dan ibadah, minta pertolongan Allah. Ini titik pentingnya memilih psikiater yang satu value dengan kita.
Kembali lagi ke agama dan keimanan, saya bersyukur ini terjadi pada saat lapisan keimanan saya sudah tidak setipis dulu, jadi upaya mencari penyelesaiannya lebih mudah. Karena ada keyakinan penuh, oke semua ini adalah ujian, sifatnya sementara, pasti ada akhirnya, Allah pasti tolong.
Dalam Islam ada konsep setelah kesulitan ada kemudahan, setiap sakit adalah penggugur dosa, semua konsep itu ibarat tongkat yang saat saya tersungkur jatuh, bisa saya pegang erat dan membantu menopang saya untuk bangkit.
Apakah saya sekarang sudah sembuh? Terapi apa saha yang saya lewati untuk sembuh? Bagaimana awal mula muncul depresi? Kapan-kapan saya cerita lagi, biar ngga terlalu panjang.
Terima kasih sudah membaca, saling mendoakan ya, semoga kita semua selalu terjaga dalam kesehatan lahir batin. Aamiin.