Museum Batik Pekalongan – dari Gula, Pemerintahan, Berakhir di Batik

Puluhan kali melintasi Pekalongan dalam perjalanan ke timur, baru kali ini saya berkesempatan belok kiri untuk masuk kota. Dan begitu lihat gedung cantik yang jaraknya cuma dua kilometer aja dari jalur pantura, nyeseeeelll bukan main kenapa ngga dari dulu sempetin mampir.

Hari sudah menjelang sore, halaman depan nampak  terisi beberapa motor, pagarnya tertutup sebagian. Saya udah kecil hati, tutup kayanya nih, tapi rupanya mobil memang harus parkir di luar pagar, pinggir jalan 😁.

Sebelum masuk, saya mbatin tak mungkin tanpa alasan ada bangunan kolonial sebagus ini di luar Batavia, pasti ada ceritanya.

Di salah satu dinding, terpajang foto-foto perjalanan fungsi gedung ini sebelum menjadi Museum Batik di 2016. Dulu-dulunya ngga pernah digunakan untuk aktivitas yang berkaitan dengan batik. Pasca kemerdekaan, pernah jadi Kantor Walikota, di masa kolonial berfungsi sebagai kantor administratur beberapa pabrik gula yang ada di wilayah Pekalongan. Aha, itu dia alasannya!.

Ada sekitar tujuh pabrik gula yang ada di sekitar Pekalongan masa itu, pantas saja kantornya semegah ini. Di masa jaya-jayanya terbayang kesibukan para pegawai lalu lalang di lorong-lorong gedung, yang mengelilingi taman.

Ruangan-ruangan yang kini menyimpan kisah tentang batik, dulu menjadi saksi peran Pekalongan sebagai salah satu wilayah penghasil devisa Nederland Indie. Sayangnya saya ngga nemu nama asli gedung ini dulu apa, tanya ke petugas museum mereka kebanyakan tahunya sebatas Kantor Walikota. Saya cari jurnal-jurnal sejarahnya, belum nemu juga, yang tahu boleh komen ya.

Setelah kenalan sama gedungnya, tentu saja yang tak kalah menarik adalah koleksinya. Hampir semua motif kain batik Nusantara dipamerkan di sini. Dan yang paling menarik perhatian saya adalah kain ini.

Perkenalkan, ini adalah batik (n)Jlamprang, batik khas Pekalongan dengan motif geometrik dengan pola berulang dan berimpitan berwarna cerah. Di Jogja, kita bisa menemukan motif yang mirip namun umumnya berwarna (coklat) sogan, bernama motif nitik.

Keduanya merupakan motif batik yang terinspirasi oleh kain (berpola) patola yang dibawa dan diperjualbelikan oleh pedagang-pedagang dari India. Kain patola masa itu adalah kain impor mewah yang sangat diminati oleh bangsawan Jawa dan Sumatra, namun sangat sulit didapatkan. Maka dibuatlah kain dengan motif yang terinspirasi dari kain patola. Bedanya, bila kain patola dibuat dengan teknik tenun, di Pekalongan dan Jogja dibuat dengan cara dibatik.

Selain motif Jlamprang, jangan lupakan juga the legendary kain batik tiga negeri. Motif ini lebih terkenal sebagai batik khas Lasem, namun Pekalongan menjadi bagian penting dari proses produksi batik tiga negeri. Mengapa?

Batik tiga negeri memiliki tiga warna khas yang proses pencelupan warna harus dilakukan di wilayah yang berbeda. Pencelupan warna biru dilakukan di Pekalongan, warna cokelat soga di Solo dan warna merah dilakukan di Lasem. Setiap daerah tersebut mempunyai air dengan kadar mineral yang berbeda-beda sehingga apabila pencelupan dilakukan di luar ketiga wilayah ini, tidak akan menghasilkan warna khas yang diharapkan.

Terakhir, untuk melengkapi rangkaian pengalaman berkunjung ke museum, pengunjung dipersilakan untuk mencoba membatik, boleh batik tulis maupun cap.

Saya pilih batik cap saja, asumsi saya pasti lebih mudah daripada batik tulis. Memang betul, tapi tetep menantang ternyata 😁.

Besi capnya ini lumayan berat, cuma ngecap dua kali kaya saya buat, masih aman. Celup ke lilin, kepret dulu biar ngga terlalu tebel, lalu diaplikasikan ke kain. Sampai beres selembar kain, pegel juga pasti. Belum panas dari tungkunya lilin, wualah dijamin gemrobyoss 😁.

Pengalaman ini jadi istimewa karena selain dipandu sama pembatik beneran, kebetulan guide saya kemarin juga berasal dari keluarga pengrajin batik, jadi bisa ngobrol panjang lebar soal seluk beluk usaha batik.

Saya jadi tahu, dari hulu ke hilir ada pengusaha apa aja di industri batik ini, dari juragan bahan baku kain, sampai tukang servis canting. Termasuk current issue-nya pembatik, limbah produksi harus dibuang ke mana dan bagaimana.

Menyenangkan, kalau museum tugaskan orang yang tepat, pengunjung seperti saya ngga cuma masuk, liat-liat koleksi dan foto-foto. Tapi bisa denger dan belajar dari cerita kehidupan yang ngga pernah saya temui dalam keseharian saya di Jakarta.

Meski sudah ngga sering lagi pakai batik di keseharian saya, akan saya cari cara untuk mengapresiasi batik, lebih dari sebelumnya. Salah satunya dengan ngajak kamu pakai batik beneran, produksi Indonesia. Jangan beli batik printing impor demi ngejar murahnya aja ya. Batik tulis dan cap yang terjangkau banyak kok.

Jadi, kalau ke Pekalongan, jangan lupa mampir ke sini ya. Tempatnya mudah dicari karena di pusat kota banget, ikuti petunjuk google maps, insya Allah ngga nyasar.

šŸ“Museum Batik Pekalongan
Jl. Jetayu No.3, Panjang Wetan,
Pekalongan, Jawa Tengah

Jam buka: setiap hari 08.00 - 15.00
Tiket masuk: Rp 5000/orang

Leave a Comment