Jalur Kereta Cibatu-Garut-Cikajang, Jawa Barat

Kesuksesan perkebunan teh yang didirikan Holle di Cisaruni, Giriawas mengawali gelombang masuknya pengusaha Belanda, Italia, Jerman, Inggris, dan Cina yang membuka perkebunan-perkebunan baru di Cilawu, Cisurupan, Pakenjeng, Cisompet, Cikelet, dan Pemeungpeuk, setelah diberlakukannya peraturan tentang agraria.

Mulai muncul masalah ketika  hasil pertanian dan perkebunan seperti teh, kopi dan kina, semakin bertambah pesat  karena tingginya permintaan komoditas tersebut di pasaran dunia tidak diimbangi dengan sarana prasarana pengangkutan yang memadai.

Pedati pengangkut hasil bumi (sumber: rri.co.id)

Masa itu, transportasi bergantung pada gerobak/cikar yang kapasitasnya terbatas dan membutuhkan waktu tempuh yang lama. Akibatnya, banyak hasil bumi yang rusak di gudang-gudang penampungan akibat tidak terangkut ke pelabuhan. Btw, dulu, hasil bumi dari Priangan Timur diekspor melalui dermaga Pelabuhan Santolo, di Pamengpeuk, Garut. Pelabuhan di laut selatan ini dianggap cukup menantang, sementara pilihan pelabuhan Batavia terhitung sangat jauh.

Para pengusaha semakin kukuh mendesak pemerintah kolonial untuk membangun sarana transportasi kereta api, yang dianggap mampu mengangkut barang secara berpuluh kali lipat dibanding jika diangkut dengan gerobak yang dihela oleh hewan. Selain itu, sarana transportasi kereta api juga dapat menunjang pariwisata ke Garut yang terkenal keindahan panoramanya, serta memperlancar mobilitas pasukan militer.

Tahun 1884, telah rampung pembangunan jalur kereta api Buitenzorg (Bogor)–Bandung–Cicalengka oleh Staatssporwegen (SS), sebuah perusahaan jawatan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda.

Kemudian pada tahun 1887, bersamaan dengan pembangunan jalur Bandung–Cilacap, dimulailah pembangunan jalur kereta api Cicalengka–Cibatu–Garut sepanjang 51 kilometer yang tuntas di tahun 1889, peresmian jalur berikut stasiunnya dilakukan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda secara besar-besaran.

Jalur Cibatu–Garut kemudian diperpanjang ke Cikajang pada akhir 1920an, menjadikan Indonesia sempat memiliki stasiun kereta api tertinggi di Asia Tenggara, yaitu Stasiun Cikajang di ketinggian 1246 mdpl.

Hampir 100 tahun melayani arus penumpang, termasuk selebriti dunia Charlie Chaplin yang sempat dua kali mengunjungi Garut. Jalur ini non aktif di tahun 1983, karena terganggunya jalur kereta akibat letusan Gunung Galunggung, ditambah lagi sudah tak banyak lagi pengguna moda transportasi kereta api, karena beralih mobil pribadi atau bus.

Tahun 2022 jalur Cibatu Garut direaktivasi, namun tidak dengan jalur Garut–Cikajang. Stasiun Cikajang tinggal kenangan, hanya tersisa bangunan tak beratap dengan kondisi menyedihkan. Di satu sisi jalan, nampak sepotong sisa rel yang masih ada, sebagian besar lainnya sudah tertimbun tanah atau lapisan jalan.

Stasiun Garut Kota lebih baik nasibnya, bangunan lawasnya masih lestari, sedang dipersiapkan jadi mini museum katanya, fungsinya digantikan bangunan stasiun baru yang megah.

Ini usianya bukan 135 tahun ya, karena stasiun aslinya sempat hancur di masa pendudukan Jepang, kemudian dibangun ulang tahun 1947.

Bangunan penunjang jadi restoran dan kedai kopi yang cantik, sayang juga kemarin ngga disempatin mampir. Nanti kapan-kapan balik lagi naik kereta dari Jakarta, biar bisa lihat bagian dalamnya stasiun sambil cari-cari jejaknya Charlie Chaplin 😁.

Siapa hendak turut?

📍Stasiun Garut
Jalan Bank, Pakuwon, Garut Kota,
Garut, Jawa Barat

📍Stasiun Cikajang
Jalan Raya Cikajang, Padasuka
Garut, Jawa Barat

Leave a Comment