Sebagai orang yang aktivitasnya di seputar Gambir sampai Cikini, maka Gondangdia juga jadi wilayah jajahan saya. Yang follow Instagram bisa jadi hafal, sholat di Cut Meutia, makan di situ juga, nongkrong di situ lagi π.
Kali ini kita mainnya geser sedikit, ke sudut yang masih di seputar Stasiun Gondangdia, tapi versi elitnya. Ada sebuah gedung tua yang berdiri anggun di sudut pertemuan Jalan Cut Meutia dan Jalan Teuku Umar, namanya sekarang kita kenal sebagai Tugu Kunstkring Paleis.

Sebenarnya sejak awal berdiri, masyarakat masa itu sudah mengenalnya dengan nama Bataviasche Kunstkring, yang artinya lingkaran seni Batavia, tempat yang ditujukan untuk mewadahi kegiatan kelompok seni pada masa itu.
Bangunan yang tahun ini berusia 109 tahun, dibangun oleh arsitek Belanda, Pieter Adriaan Jacobus Moojen dari perusahaan NV. Bouwploeg, biro arsitektur dan pengembang properti pertama di Jakarta, yang bangunan kantornya ada di seberang gedung Kunstkring ini, dan sudah beralih fungsi menjadi Masjid Cut Meutia.
Selain sebagai arsiteknya, Moojen sendiri adalah salah satu pendiri kelompok seni tersebut. Peletakan batu pertamanya diawali pada 1913, rampung dan diresmikan pada 17 April 1914 oleh Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda Frederick Idenburg.
Pada masa keemasannya, gedung ini sangat prestisius bagi para seniman. Namun dalam perjalanannya yang melintas masa pendudukan kolonial Belanda, Jepang dan Indonesia, sempat beberapa kali mengalami peralihan fungsi.
Sempat digunakan oleh Madjelis Islam A’laa Indonesia sebagai kantor pusat. Selanjutnya dimanfaatkan oleh kantor imigrasi, yang jejaknya masih bisa kita lihat di fasadnya, dari masa kolonial hingga tahun 1997. Sempat terbengkalai, lalu menjadi sebuah bar yang cukup kontroversial masa itu, Buddha Bar, sempat ngalamin?
Setelah bar tutup, akhirnya gedung yang saat ini menjadi aset Pemprov DKI Jakarta disewa dan dikelola oleh Tugu Grup, sejak 2013 menjadi restoran yang dilengkapi bar, coffeeshop dan galeri seni.

Begitu memasuki pintu utama, tak lama kita akan disambut gebyog dengan ukiran Jawa klasik bersimbol Mangkunegaran, yang menjadi gerbang untuk masuk ke ruang utama bernama Ruang Diponegoro.

Ruang Diponegoro ini dilatarbelakangi lukisan bertema penangkapan Pangeran Diponegoro yang diilhami oleh lukisan karya Raden Saleh. Ukurannya cukup besar, panjang 9 meter lebar 4 meter, menjadikan suasana ruangan ini menjadi megah. Meja kursi tertata rapi lengkap dengan penataan peralatan makan bernuansa merah berkelas fine dining, mewah gengs!
Untuk makan di sini baiknya reservasi dulu untuk memastikan ketersediaannya. Karena ruang ini yang paling sering dipesan untuk acara jamuan makan keluarga, rombongan tamu instansi pemerintah/swasta dari dalam dan luar negeri, sampai acara pernikahan.
Selain ruang utama ini, masih ada ruang-ruang lain yang berukuran lebih kecil. Ada Ruang Multatuli, Kolonial dan Suzie Wong.




Sekilas info, ini adalah acara pertunangan yang saya dan team Citta Project selenggarakan di ruang Suzie Wong. Cukup lah, untuk acara keluarga dengan sekitar 40-50 hadirin.
Naik ke lantai dua, kita harus melewati tangga kayu tua yang diapit dinding dengan warna merah menyala, lengkap dengan display foto-foto gedung di masa lalu. Suara derit anak tangga yang terinjak akan menambah rasa tua bangunan ini.

Setiba di atas, masih ada beberapa ruang, sayangnya yang bisa saya potret waktu itu hanya Ruang Sukarno, karena ruang lain dalam proses dekorasi acara.

Ruangan ini tentu saja dihiasi lukisan Sang Proklamator dan karya-karya seni lain yang bernilai tinggi.
Desain bangunan, warna, display benda-benda berusia tua, mau tak mau memang menimbulkan suasana masa lalu yang megah, anggun, klasik, misterius. Salah satu tamu acara kami kemarin tidak berani ke toilet sendirian, serem katanya π.
Nah, kalau kamu lebih memilih suasana yang agak santai, ngga terlalu formal, ke Kawisari Coffeeshop aja.



Dikombinasi warna hijau, meski tetap klasik suasananya lebih cozy, betah banget duduk berlama-lama di sini. Suasananya tenang, meski ramai tapi tamu-tamunya ngga berisik heuheuu.
Cerita kali ini ngga membahas makanan dan minumannya ya, karena saya ke sana dalam rangka bikin acara. Jadi makanan dan minumannya sudah masuk dalam paket sewa venue yang kami pesan. Tapi untuk gambaran, untuk bisa makan dengan konsep rijstafel, siapkan dana kurang lebih 400 ribu per orang, sementara kalau a la carte sekitar 250 ribu per orang. Kaum mendang mending lebih baik ngga usah kepikiran makan di sini, daripada ngga jadi daging π.
Kalau ngga makan, mau berkunjung dan foto-foto aja boleh ngga sih? Kalau kamu sendirian, sepertinya ngga memungkinkan ya, pihak pengelola kan pasti mempertimbangkan kenyamanan tamu-tamunya. Ngopi aja, budgetnya setara coffeeshop waralaba warna hijau itu kok. Amann ππ.
πTugu Kunstkring Paleis Jalan Teuku Umar No.1, Gondangdia Menteng, Jakarta Pusat