Bandara Kemayoran #2 – Ruang VIP dan Relief Monumental yang Terlupakan

Bukan Soekarno kalau tidak memikirkan aspek seni dan budaya dalam setiap hal. Sosoknya dinilai sebagai tokoh yang berada di antara politik dan seni.

Saya tuliskan yang langsung saya ingat saat menulis blog post ini. Jejak peninggalan seni Soekarno di Jakarta, di antaranya: Tugu Selamat Datang, Tugu Dirgantara/Pancoran, Tugu Pembebasan Irian Barat , Tugu Monas, Tugu Tani, relief Sarinah, Masjid Istiqlal, Hotel Indonesia, Gedung DPR/MPR, Bundaran Semanggi, dan tentu saja, relief di ruang VIP terminal Bandara Kemayoran.

Bandara Kemayoran beroperasi sejak tahun 1940, lalu pasca kemerdekaan, dialihkan ke Pemerintah pada tahun 1950. Kapan pastinya ruang VIP ini dibangun, saya belum menemukan informasinya. Kalau reliefnya, dibuat pada tahun 1957, oleh para perupa yang tergabung dalam Seniman Indonesia Muda. Kelompok seniman yang karya-karyanya banyak dikoleksi oleh Soekarno.

Di Bandara Kemayoran, ada tiga buah relief berukuran cukup besar, masing-masing dibuat dengan tema: Sangkuriang, Manusia Indonesia, Flora & Fauna. Ketiganya merupakan hasil penterjemahan pesan Soekarno agar relief yang dibuat bisa mencerminkan keragaman seni budaya, flora dan fauna, serta memberitakan bahwa Indonesia sedang giat-giatnya membangun.

Ketiga relief ini masih bisa kita jumpai di sini, Ruang Tunggu VIP eks Bandara Kemayoran.

Begitu melangkah masuk, saya mencoba merasakan apa sih yang diinginkan oleh Soekarno saat orang masuk ke dalam ruangan ini. Beliau memilih relief sebagai ornamen hias ruangan, karena lukisan dianggap kurang monumental sementara patung akan menghabiskan terlalu banyak ruang.

Dan sepertinya saya gagal menangkap pesannya, bukan karena relief ini tidak mengesankan, tapi mungkin karena saya bukan penikmat seni rupa.

Saya lebih merasakan suasana sedih saat berada di dalam ruangan ini kemarin. Membayangkan sebuah karya yang menghabiskan waktu berminggu-minggu, mengharuskan pembuatnya berjauhan dari keluarga, pada akhirnya hanya menjadi penghias ruang kosong.

Tak terbayangkan seperti apa sedihnya sang seniman mengetahui karyanya pada akhirnya tak ada lagi yang menikmati. Padahal karya ini memiliki tingkat kesulitan yang cukup menantang, karena perupanya harus memahat langsung beton cetak yang sudah menempel di dinding.

Terlebih ketika saya mengetahui, ada sebuah fragmen relief yang merupakan persembahan cinta. Duhhh, patah hati saya.

Tak sanggup rasanya saya berlama-lama di ruangan ini. Membayangkan setelah rombongan kami pergi, lalu ruangan akan kembali sepi. Menunggu gelap, terang, gelap lagi, begitu saja setiap hari. Hingga suatu hari, entah kapan, yang berwenang bisa mengembalikan kemuliaan karya besar ini seperti relief di Sarinah yang juga sempat hilang.

Sambil menunggu saat itu tiba, datanglah ke Kemayoran teman-teman. Setidaknya kita bisa menjadi pengawal agar karya besar ini tak keburu hancur menunggu nasib.

Leave a Comment