Pabrik Gula Jatibarang, Hidden Gem Brebes #3

Kemarin sudah cerita Remise Locomotief dan Omah Mbesaran sebagai prasarana pendukung, sekarang waktunya mengunjungi ‘alasan’ mengapa prasarana ini sampai ada di sana,  yaitu Pabrik Gula Jatibarang atau yang di masa lalu bernama Suikerfabriek Djatibarang.

PG Jatibarang didirikan pada tahun 1842, angka tahun ini diabadikan di cerobong asap yang menjulang tinggi di bagian depan pabrik,oleh NV Mij tot Exploitatie der Suiker Onderneming, milik Otto Carel Holmberg seorang berkebangsaan Belanda. Setahun sebelumnya perusahaan ini juga membangun pabrik gula yang lain yaitu PG Adiwerna di Ujungrusi, Kabupaten Tegal, yang sekarang sudah beralih fungsi menjadi komplek Batalyon Infanteri 407 Padmakusuma Kodam IV /Diponegoro.

Kalau sebelumnya saat menjelajahi Jawa Barat, yang lebih sering saya temui adalah eks pabrik teh dan kebun kopi, kondisi berbeda saya saksikan di Jawa Tengah. Pabrik gula ada di mana-mana!

Masa-masa itu, pembangunan pabrik gula masif di Jawa Tengah dan Jawa Timur, seiring dengan telah diberlakukannya cultuurstelsel atau yang lebih dikenal sebagai sistem tanam paksa di Indonesia. Disebut tanam paksa, karena rakyat harus menanam komoditi yang diwajibkan di seperlima lahan yang mereka miliki. Di Jateng dan Jatim salah satunya tebu, karena kondisi tanah dan cuacanya dianggap cocok untuk hasil tanam yang optimal.

PG Jatibarang adalah satu dari tiga pabrik gula yang pernah ada di Brebes. Yang satu pasti sudah banyak yang kenal, PG Banjaratma yang sekarang jadi salah satu rest area favorit di Tol Trans Jawa, satu lagi PG Kersana di Ketanggungan.

Ketiganya adalah bagian dari sekian banyak pabrik gula yang pernah ada di Jawa. Dalam catatan BPCB Jateng di laman Kemendikbud, disebutkan tercatat 191 aktif berproduksi pada tahun 1914. Yang kemudian berkembang menjadi 200 pabrik di tahun 1925.

Pernah ada kesibukan luar biasa di pabrik yang sekarang sunyi sepi meninggalkan bangunan dan mesin-mesin tua. Tembok berwarna putih itu tebalnya sekitar tiga puluh cm, dibangun tanpa semen, masih kokoh di usianya yang telah mencapai 182 tahun. Di bagian belakang , di dekat remise lokomotif, ada sebuah tabung penampun tetes berukuran besar yang juga masih utuh, namun pipa-pipa yang dulu mengalirkan tetes dari arah pabrik sudah dilepas.

Ini dulunya jadi ‘gerbang’ mulainya produksi gula. Di conveyor ini batang-batang tebu masuk untuk digiling dan seterusnya. Seluruh mesinnya masih ada, lengkap, ada sih sebagian yang di kanibal, istilah untuk pengambilan sparepart yang masih bisa dipakai di pabrik lain yang masih beroperasi.

Andai kemarin saya punya waktu lebih banyak, pasti menyenangkan untuk menerima ajakan Pak Agung pegawai yang menemani kunjungan saya untuk berkeliling pabrik. Beliau masih hafal betul, meski sudah tujuh tahun pabrik ini berhenti beroperasi.

PG Jatibarang berhenti beroperasi karena pasokan tebu dari wilayah sekitar tidak mencukupi batas minimal produksi. Bukan karena faktor cuaca, namun karena pemilik lahan saat ini lebih memilih untuk menanam bawang merah yang nilai jualnya lebih baik daripada tebu.

Hmmm, adanya sistem tanam paksa tebu di masa lalu berarti ada baiknya juga ya, karena bisa menjamin ketersediaan pasokan tebu. Indonesia yang dulu masih bernama Nederland Indie pernah menjadi pemasok gula terbesar di dunia lho. Kalau sistem tanam paksa dulu terasa tak semanis tebu yang dihasilkan, karena petani tidak menerima imbalan atau hasil penjualan yang wajar akibat penyelewengan aturan oleh oknum pegawai pemerintah kolonial dan / atau sudah jadi rahasia umum oknum kepala daerah yang korup.

Andai saat ini dibuat kebijakan tata kelola penanaman yang baik dengan kewajiban dan hak yang diatur jelas tanpa korupsi-korupsian bisa ngga ya kita mengembalikan kejayaan produksi gula? Jawaban biar diberikan oleh yang kompeten deh.

Leave a Comment