"Everything which actually is, every being comes and goes at the right time and remains for a time during the time allotted to it. Every thing has its time.”
— Martin Heidegger
Quote ini membayangi pikiran saya saat memandangi batu bata yang tersusun rapi membentuk sebuah tembok tinggi. Saya sengaja memotret truk yang parkir untuk bahan perbandingan.


Setelah berhasil merebut dan meratatanahkan Jayakarta dari Banten, VOC menancapkan kekuasaannya dan membangun infrastruktur untuk menunjang kegiatannya di Nusantara atau yang disebut dengan Hindia Timur saat itu.
Salah satu bangunan yang awal mula dibuat adalah kastil Batavia. Bangunan berbentuk benteng yang dilengkapi dengan empat bastion atau sudut bangunan yang menjorok ke luar dan dipersenjatai untuk pengawasan dan pertahanan. Bisa kita lihat di peta berikut, posisi kastil ada di sebuah wilayah yang saat ini dikenal sebagai Kampung Tongkol.

Kastil yang dulu adalah jantung dari Batavia sudah lama lenyap, dihancurkan dengan sengaja pada masa pemerintahan Daendels awal 1800an, yang memindahkan pusat kota ke Weltevreden (area Gambir sekarang). Area bekas kastil saat ini menjadi kampung yang cukup padat, dengan rumah-rumah berderet menghadap ke bekas kanal pertahanan benteng.




Namun seperti yang bisa kita lihat di peta, bentuk wilayahnya masih sama, dan kalau kamu berkunjung ke sana kamu masih bisa lihat sisa kanal pertahanan yang dulu mengelilingi kastil, beserta sisa-sisa batu bata yang merupakan bagian dari tembok benteng. Kastil ini dibangun tahun 1627-1628, hampir 400 tahun lalu lho. Bagaimana batu bata yang terendam sungai itu masih sanggup bertahan?


Selain kastil, dibangun juga deretan gudang-gudang besar untuk menyimpan komoditas perdagangan. Posisinya di tenggara kastil, kamu bisa mencarinya dengan titik kenal Gudang Timur, di googlemaps sekarang. Dahulu ada empat gudang besar, dua diruntuhkan untuk pembangunan tol arah bandara, satu lagi roboh, tersisa satu bangunan saja yang kondisinya juga sudah sangat mengenaskan.


Sebuah pohon tumbuh dan akarnya menancap menutupi dinding. Saya beranikan melihat bagian dalamnya, gelap, kosong. Merinding, bukan karena seram hantu-hantuan, gudang yang sangat besar ini pasti sibuk sekali pada masa jayanya.
Saya kutipkan penggalan tulisan Mas JJ Rizal di Tempo beberapa tahun lalu:
"Ketika VOC sedang kuasa-kuasanya, gudang-gudang itu disebut Graanpakhuizen atau “Gudang Gandum”. Terkadang juga disebut “Gudang di Tepi Timur”. Di sini VOC menyimpan segala macam bahan makanan, seperti beras, buncis, kacang tanah, kacang hijau, dan kue-kue untuk perbekalan kapal. Termasuk juga sejumlah minuman anggur, mom atau bir Belanda, lilin, daging asap, ikan pampus kering, mentega Belanda dan Bengal, gula batu, gula pasir, garam, dan minyak zaitun. Pendek kata dari gudang ini dapat dilihat meja makan para pejabat VOC".
Kawasan ini dulunya mungkin mirip dengan Istana Merdeka dengan segala kemewahannya. Elit! Tak semua orang bisa masuk. Sekarang berubah 180 derajat, menjadi kawasan yang mungkin tak semua orang mau masuk. Sekali lagi, semua ada jamannya.
Ada penataan kampung bersejarah dilengkapi dengan papan-papan informasi yang dibuat dalam program pengabdian masyarakat. Masyarakat juga diajak untuk berperan serta menjaga sisa tembok tua ini.

Namun belum nampak tanda-tanda upaya pencegahan kerusakan atau keruntuhan sisa gudang sudah jadi cagar budaya ini. Mumpung masih ada, kunjungi gengs! Kalau kamu ragu untuk jalan sendirian, kamu bisa jalan bareng Jkt Good Guide ya.
By the way, tulisan ini sengaja saya tayangkan di Kamis, 30 Mei 2024, untuk mengingat Kamis, 30 Mei 1619, saat VOC berhasil merebut Jayakarta, awal mula perjalanan kota yang jejak sejarahnya masih bisa kita telusuri hingga sekarang.