Di Jakarta, banyak sekali bangunan yang tidak sekadar berdiri, tetapi dindingnya menyimpan gema suara, merekam kisah-kisah terus berdenyut. Saya ajak berkunjung ke salah satunya di kawasan Guntur, Jakarta Selatan, gedung yang dahulu dikenal sebagai JP Coen Stichting Internaat te Meester Cornelis, sebuah bangunan kolonial yang riwayat fungsinya terus berubah mengikuti arus sejarah kota.

Gedung ini mulai beroperasi pada tahun 1923 sebagai sekolah asrama bagi anak laki-laki di Batavia. Sejak awal, JP Coen Stichting tidak dirancang sebagai institusi elite. Ia lahir dari kebutuhan sosial yang nyata: menyediakan tempat tinggal dan lingkungan belajar yang layak bagi pelajar yang orang tuanya tinggal di luar Batavia atau tidak mampu menyewa akomodasi di kota. Sebuah surat kabar pada masa itu menyebut sekolah ini sebagai “rumah” bagi pelajar muda, tanpa memandang ras dan status sosial.
Kesuksesan datang lebih cepat dari dugaan. Pada November 1925, hanya dua setengah tahun setelah peresmian, yayasan ini memperoleh izin untuk melakukan perluasan besar-besaran yang rampung pada akhir 1926. Bangunan utama mengalami transformasi total. Fasad diperbarui dengan galeri depan, fasilitas baru seperti teater, ruang direktur, dan ruang rapat ditambahkan. Di area kompleks juga dibangun asrama tambahan untuk 50 siswa serta rumah dinas direktur. Total investasi mencapai 136.000 gulden, angka yang sangat besar pada masa itu dan menegaskan betapa seriusnya proyek ini.
Pada tahun-tahun awalnya, JP Coen Stichting merepresentasikan pendidikan kolonial yang pragmatis. Dengan biaya 50 gulden per bulan, siswa mendapatkan tempat tinggal, makanan, layanan binatu, pendampingan belajar, layanan kesehatan gratis, serta akses fasilitas olahraga dan rekreasi. Biaya operasional sebenarnya jauh lebih tinggi, namun ditopang oleh dana swasta. Gedung ini bukan hanya tempat tidur dan belajar, melainkan ruang pembentukan disiplin dan harapan masa depan.
Seiring waktu, sejarah Jakarta berjalan lurus mengikuti arus perubahan zaman. Setelah masa kolonial berakhir dan Indonesia memasuki babak kemerdekaan, fungsi gedung ini kembali bergeser. Dari sekolah asrama, bangunan ini sempat digunakan sebagai asrama pendidikan lain, termasuk bagi pelajar atau mahasiswa perawatan kesehatan. Peralihan ini menandai masa transisi, ketika gedung lama mencoba beradaptasi dengan kebutuhan baru negara yang sedang dibangun.
Babak yang lebih gelap datang kemudian. Pada periode pasca-kemerdekaan hingga masa Orde Lama dan Orde Baru, gedung ini digunakan sebagai penjara militer. Sejumlah penuturan lokal menyebutkan bahwa tempat ini pernah menjadi lokasi penahanan, termasuk bagi tahanan politik. Ruang yang dahulu dipenuhi aktivitas belajar berubah menjadi ruang pembatasan, menandai bagaimana bangunan pendidikan dapat beralih fungsi menjadi alat kekuasaan. Hingga saat ini sebagian besar gedung yang menghadap ke Jalan Sultan Agung dan Jalan Guntur masih masih berfungsi sebagai kantor Pomdam Jaya / Jayakarta.

Memasuki dekade 1980-an hingga 1990-an, sebagian gedung yang berada di sudut pertemuan Jalan Sultan Agung dan Guntur kembali berganti wajah. Ia sempat berfungsi sebagai bioskop, dikenal sebagai Bioskop Agung atau Bioskop Guntur. Layar lebar menggantikan papan tulis, bangku penonton menggantikan ranjang asrama. Ruang yang pernah sunyi oleh disiplin dan ketertiban, ramai diisi tawa, sorak, dan cerita di layar. Sebuah ironi yang lembut, sekaligus pengingat bahwa ruang selalu lentur mengikuti zamannya.
Setelah bioskop tutup, gedung ini sempat mengalami masa keterabaian. Namun sejarah belum selesai menulis bab terakhirnya. Setelah mangkrak dan halamannya hanya digunakan untuk parkiran truk selama beberapa tahun terakhir, bangunan ini telah direnovasi dan kembali dimanfaatkan. Kini, kompleks tersebut hidup sebagai Castle Padel, sebuah fasilitas olahraga padel yang dilengkapi dengan kafe. Dari tempat tidur asrama, sel penjara, hingga kursi bioskop, ruang ini kini menjadi arena olahraga dan pertemuan sosial, menyambut generasi baru dengan ritme yang sama sekali berbeda.
Gedung JP Coen Stichting adalah arsip hidup perubahan Jakarta. Ia menyimpan lapisan-lapisan fungsi: pendidikan, pengasuhan, penahanan, hiburan, hingga gaya hidup urban masa kini. Renovasi dan pemanfaatan sebagai Castle Padel menunjukkan bahwa bangunan tua tidak selalu harus menjadi monumen diam. Ia bisa diberi napas baru, tanpa sepenuhnya menghapus jejak masa lalu.


Tembok-tembok dengan bata asli dipertahankan, sebagian dibiarkan terekspos seakan sedang mengirimkan salam dari rekaman panjang masa lalu.




Menengok ke atas, beberapa kusen jendela tua juga masih ada. Saya yang tak pernah tahu dan mendapat informasi bagaimana bentuk dan suasana ruang utamanya, sekarang hanya bisa menikmati sebuah ruang lapang, terisi dengan beberapa kursi dan meja berdesain kuno seakan ingin selaras dengan suasana tua dari gedung. Sinar matahari bisa menembus masuk dari atap baru yang dibuat menggantikan atap asli yang sudah lama lenyap. Suasana ruang menjadi hangat, sebenar-benarnya hangat.



Di tengah kota yang terus berlari, gedung ini mengingatkan kita bahwa ruang tidak pernah netral. Ia selalu dipinjam oleh zaman, diisi oleh kepentingan, dan ditinggalkan oleh ingatan. Selama tembok-temboknya masih berdiri, JP Coen Stichting Internaat te Meester Cornelis akan terus menjadi saksi bahwa sejarah Jakarta bukan hanya tentang apa yang dibangun, tetapi juga tentang bagaimana bangunan-bangunan itu terus belajar bertahan.