Kampung Bendungan Udik: Cerita dari Sebuah Nama yang Hampir Hilang

Sebagian besar orang Jakarta pasti mengenal Bendungan Hilir, atau Benhil, begitu ia akrab disapa, sebagai salah satu kawasan yang sibuk.   Namun tak banyak yang tahu, Benhil punya kembaran,  sebuah kampung yang pelan-pelan dan tanpa suara, nyaris lenyap dari ingatan kota: Kampung Bendungan Udik.

Saya pertama kali mendengar nama ini, bukan dari buku sejarah Jakarta, bukan dari berita, bukan pula dari papan jalan. Nama “Bendungan Udik” muncul dari obrolan dengan bapak ojek online berusia separuh baya. Ketika saya tanya asli Betawi mana, ia menyebut Bendungan Udik dan dulu, kakek neneknya bekerja pada seorang pengusaha batik.

Kisah ini saya simpan cukup lama, penasaran juga ingin mengetahui seperti apa kampung yang namanya nyaris tak terdengar ini, tapi mau explore sendiri kok malas juga. Hingga akhirnya pucuk dicinta ulam pun tiba. Komunitas Mending Liburan, membuat rute walking tour jelajah Bendungan Udik, tentu saja saya tak akan melewatkannya.

Saya memulai perjalanan kecil pagi itu dengan rasa tak sabar, penasaran. Bagaimana bisa sebuah kampung bisa hilang? Bagaimana mungkin sebuah tempat yang pernah dihuni ratusan keluarga kini nyaris tak tersisa jejaknya, bahkan pada ingatan kolektif warga Jakarta?

Jalan akses menuju kampung Bendungan Udik

Kami memulai penelusuran kampung Bendik pada sebuah jalan di sisi Kali Krukut, di tengah bayang-bayang gedung tinggi, di googlemaps jalan ini bernama Jalan Komplek Polri, persis di sebelah Gedung BPJS Ketenagakerjaan d/h Jamsostek.

Di sepotong jalan ini, kami menjumpai sebuah gedung yang seketika mengingatkan saya cerita bapak ojek online. Gedung bertuliskan nama “Batik Afri”, yang meski tak bisa saya temukan sumber yang bisa menjelaskan kisahnya, sudah cukup menjadi petunjuk, memang pernah ada jejak batik di sini.

Segala penasaran dan keheranan saya tentang bagaimana kampung ini perlahan terlupakan akhirnya terjawab. Tidak ada petunjuk jelas bahwa area ini bernama Bendungan Udik. Tidak ada plang nama jalan, atau gapura kampung. Yang tertinggal aja sebuah nama di googlemaps.

Dan selain itu, kondisi fisik kampung yang hidup antara ada dan tiada, diremukkan oleh modernisasi, hanya menyisakan sepotong kecil kampung. Jaman dulu, kawasan Bendungan Udik, nyaris mencapai Senayan, perbatasannya kira-kira di titik di mana Jembatan Semanggi sekarang berada. Plaza Semanggi, Balai Sarbini, Universitas Atma Jaya, RS Jakarta, termasuk di dalamnya. Berbatasan dengan Karet Sawah dan Pedurenan.

Sebagian besar kampung hilang karena digusur, dibongkar dan dibangun ulang menjadi gedung-gedung tinggi. Meski demikian, Bendungan Udik belum sepenuhnya lenyap. Di antara celah-celah gedung, di sebuah gang yang panjangnya hanya dalam hitungan ratus meter, ada kehidupan sekitar dua puluh keluarga yang masih berjalan.

Saya sempat berbicara dengan seorang warga, memastikan bahwa memang hanya ada sekitar 20an keluarga yang hidup di sana. Ia menjawab sambil menunjuk ke arah rumah-rumah kecil yang tersisa. “Ini rumah-rumah terakhir Bendungan Udik. Kalau saya dan mereka pindah… ya sudah, tinggal kenangan”,  katanya.

Tak hanya warga yang tinggal sedikit. Namun catatan tentang Bendungan Udik juga tak kalah sedikitnya. Jika kita mengetik “Benhil” di kolom pencarian mesin pencari,  dengan mudahnya akan ditemukan ratusan artikel tentang kegiatan bisnis dan jajanan legendaris. Sebaliknya, jika mengetik “Bendungan Udik”? Hanya ada sedikit jejak digital, tanpa catatan resmi, dan lebih banyak lagi kesenyapan.

Perjalanan hari itu membuat saya merenung tentang betapa cepatnya Jakarta bergerak. Kota ini seperti orang yang berjalan terlalu cepat sehingga tidak sadar telah meninggalkan bayangannya sendiri. Bendungan Udik adalah salah satu bayangan itu, tempat yang dulu hidup dengan ritme sederhana, yang anak-anaknya bermain tanpa mengenal kata “kawasan strategis”, yang orang-orangnya saling mengenal nama sejak generasi ke generasi. Sekarang, nama Bendungan Udik tertinggal sebagai bisikan kecil di antara megafon modernisasi.

Namun ada satu hal yang saya sadari, sebuah kampung tidak benar-benar hilang selama ada orang yang mau bercerita tentangnya. Selama masih ada yang mengingat namanya, menceritakan sejarahnya, atau sekadar menuliskan kisahnya.

Bendungan Udik tetap hidup, meski hanya sebagai sepotong ingatan di tengah kota yang mudah melupakan. Dan barangkali, menuliskan cerita ini adalah salah satu cara kecil untuk menjaga agar namanya tidak sepenuhnya menghilang.

📍Bendungan Udik
Kel. Karet Semanggi, Kec. Setiabudi, Jakarta Selatan

Leave a Comment