Ada bangunan yang berdiri bukan hanya sebagai hotel, tetapi sebagai penanda garis waktu. Setiap melewati jalur Semanggi menuju timur, di antara lalu lintas Gatot Subroto yang tidak pernah benar-benar tidur, dan melihat fasad hotel ini, ada sesuatu yang hangat, seolah ada kawan lama yang pernah dan masih menemani saya menjalani kehidupan di kota Jakarta. Hotel Kartika Chandra, sebuah bangunan yang seolah ikut menjaga memori Jakarta dari dekade ke dekade.
Kalau namanya terdengar familiar karena mirip-mirip dengan nama salah satu organisasi para istri, itu karena pembangunan hotel ini diprakarsai oleh Ibu Tien Soeharto. Sebagai ketua Persit Kartika Chandra Kirana masa itu, ia membentuk Yayasan Kartika Jaya, yang menjadi pelaksana pembangunan hotel itu bersama Yayasan Purna Bhakti Pertiwi yang juga dipimpin olehnya, beserta dua perusahaan lain.
Dalam catatan Arsip Nasional Republik Indonesia, Presiden Soeharto ketika meresmikan hotel dan bioskop Kartika Chandra, menjelaskan, hotel ini adalah wujud nyata dari kerja sama antara yayasan militer yang diwakili para istri prajurit dan swasta untuk pembangunan ekonomi. Meski hingga artikel ini ditulis belum banyak dijelaskan seberapa besar hotel itu memberikan manfaat balik bagi kesejahteraan keluarga istri para prajurit.
Hotel ini berdiri sebagai bagian dari mimpi besar menghadirkan akomodasi bertaraf internasional di tengah ibu kota yang sedang berlari mengejar modernitas namun setia mempertahankan nuansa Jawa di berbagai ornamen kayu di pintu masuk, lobi, kamar, ruang rapat, hingga ballroom-nya. Nama-nama ruangan juga menggunakan rujukan dari tanah Jawa, seperti Prambanan Resto, Balairung Kirana, Parangtritis Cafe, Puri Kencana, Puri Mahkota Putri, Dieng Room, Kalasan Room, dan Borobudur Room.




Menariknya, sejak awal Kartika Chandra bukan hanya hotel, ia menjadi kompleks hotel dan bioskop pertama di Indonesia. Bayangkan, satu tempat yang menyediakan kamar, restoran, dan hiburan, di masa ketika mal belum mendominasi kehidupan kota.

Memasuki era keemasan periode tahun 1980–1990-an, Kartika Chandra bukan sekadar tempat menginap. Ia adalah lokasi di mana banyak rapat penting, pesta keluarga, pertemuan bisnis, hingga acara-acara besar berlangsung. Kartika Chandra menjadi saksi banyak acara yang kelak menjadi cerita nostalgia kalangan sosialita Jakarta.
Di periode ini pula, tepatnya pada tahun 1986, Sudwikatmono merenovasi Bioskop Kartika Chandra sekaligus memperkenalkan konsep multipleks pertama di Indonesia, yaitu mengubah bioskop yang awalnya hanya memiliki satu layar menjadi tiga layar.
Memasuki periode 2000-an, Jakarta berubah drastis. Mal-mal baru bermunculan, hotel-hotel bersaing dengan agresif, dan gaya hidup urban melesat jauh ke arah modernitas yang serba minimalis. Di tengah semua itu, Kartika Chandra tetap dengan jiwa lama yang sudah melewati masa terbaiknya,tampak lebih tenang, klasik, dan juga lebih… tua.


Kini, dengan 276 kamar berfasilitas lengkap, perabot dan beberapa area yang sudah diperbarui, sebagian besar hotel masih terasa karakter lamanya. Saat memasuki lobby, rasanya seperti masuk ke sebuah film era 80-an, ketika kayu, karpet, dan lampu temaram menjadi standar kemewahan.
Bagi sebagian orang, termasuk saya, Kartika Chandra adalah nostalgia. Bersama hotel-hotel lain yang seusia, ia telah menjadi saksi berbagai momen ribuan orang yang pernah mampir, ribuan acara dan peristiwa yang pernah terjadi. Dan selama ia masih berdiri, sebagian dari sejarah kota Jakarta ini akan tetap ikut bertahan.
📍Hotel Kartika Chandra
Jl. Gatot Subroto No.18-20
Karet Semanggi, Jakarta Selatan