Ini bukan souvenir nikah sayur mayur yang sempat viral beberapa waktu lalu ya, ini adalah display hasil bumi di kegiatan sedekah bumi. Sedekah bumi cukup akrab buat saya yang sempat tinggal di Jogja selama enam tahun. Namun kali ini saya menemukan pengalaman baru, sedekah bumi di lingkungan gereja, tepatnya Gereja Santo Servatius Kampung Sawah, Pondok Melati, Bekasi.

Sesuai dengan nama daerah tempat gereja berada, jaman dahulu Kampung Sawah ini benar-benar didominasi lahan persawahan, sedekah bumi juga merupakan tradisi adat istiadat setempat yang rutin dilaksanakan tiap tahun sebagai bentuk syukur atas karunia hasil panen yang baik. Sebelum diubah penyebutannya menjadi sedekah bumi, masyarakat dulu menyebutnya tradisi Babaritan. Sedekah bumi di lingkungan Paroki Kampung Sawah diselenggarakan di bulan Mei, bersamaan dengan peringatan pelindung gereja, Santo Servatius, setiap 13 Mei. Jemaat mengumpulkan hasil bumi, untuk kemudian diberkati oleh Pastor dan kemudian dibagikan lagi ke masyarakat.

Yang menarik tahun ini isu ketahanan pangan dimasukkan dalam tema perayaan, dan langkah konkretnya, dibagikan bibit tanaman cabai untuk ditanam di rumah sebagai simbol upaya menjaga ketahanan pangan di lingkungan rumah. Meski kecil, upaya untuk ikut mengambil peran adalah hal yang patut dihargai.

Nama Kampung Sawah sebenarnya sudah saya kenal sejak tahun 2000an dari Pak Bugi Niman, senior saya di awal mula bekerja, beliau penganut agama Katolik, putra asli Kampung Sawah. Pertama kali mendengar ada komunitas Betawi Katolik, saya cukup bertanya-tanya, beneran ada atau tidak ya, mengingat selama ini komunitas Betawi sangat lekat dengan Muslim. Hari ini, 25 tahun setelahnya, tuntas rasa penasaran saya yang akhirnya datang berkunjung, berkenalan langsung, diwakili oleh tokoh gerejanya Bapak Matheus Nalih.

Penampilan Pak Matheus Nalih dengan baju khas Betawi lengkap dengan peci, bukan hal yang aneh di lingkungan Paroki Kampung Sawah, setiap ada kegiatan, identitas mereka sebagai orang Betawi tidak pernah ditanggalkan. Bahasa Betawi juga lazim digunakan dalam misa-misa khusus, seperti di Misa Sedekah Bumi hari ini.
Setelah misa, jemaat berkumpul di halaman gereja, berinteraksi dengan masyarakat umum, lintas suku dan agama, termasuk saya. Mereka menari dengan iringan musik khas Betawi persembahan Kelompok Gambang Kromong Ratna Sari, dari Ciracas, Jakarta Timur.




Sebenarnya, ada satu rangkaian ritual khas Betawi yang luput saya hadiri, yaitu prosesi Ngaduk Dodol, satu sehari sebelum perayaan sedekah bumi. Ritual ini rutin dihadiri oleh komunitas Muslim dan agama lain di Kampung Sawah.
Menurut penjelasan Pak Matheus Nalih, komunitas Betawi Katolik Kampung Sawah mulai terbentuk pada 6 Oktober 1896, dengan dibaptisnya 18 orang penduduk Betawi asli Kampung Sawah. Bangunan gerejanya sendiri baru dibangun pada tahun 1936 dan direnovasi menjadi bentuk seperti sekarang di tahun 1993. Saat ini Gereja Santo Servatius memiliki sekitar sepuluh ribu jemaat yang tersebar dalam empat kecamatan, Pondok Melati, Jati Ranggon, dan sebagian Jatiasih serta Jatisampurna.
Dua ratus meter dari gereja terdapat Masjid Agung Al Jauhar dan Gereja Kristen Pasundan, suara lonceng gereja bergantian dengan panggilan sholat adalah kenormalan. Mereka semua hidup berdampingan, tidak lagi sebatas dalam semangat toleransi melainkan kerukunan antar umat beragama. Saling meminjamkan lahan parkir, saling menjaga ketertiban, saling menghadiri acara-acara non peribadatan. Hangat.
Sebagai warga Pondok Melati, saya bangga! Dan akan ikut mengambil peran menjaga kerukunan beragama, salah satunya dengan ikut menyebarkan kabar baik dari Kampung Sawah.
📍Gereja Katolik Santo Servatius, Paroki Kampung Sawah
Jl. Raya Kampung Sawah, Jatimelati,
Pondok Melati, Bekasi