Cerita dari Kramat Kwitang

Dua tahun lalu, saya sudah pernah mengunjungi sebagian dari Kwitang, tepatnya Masjid Al Riyadh, a.k.a Masjid Kwitang, markasnya Majelis Ta’lim Ali Al-Habsyi Kwitang.

Kali ini, masih di sekitar Jalan Habib Ali Kwitang dan Jalan Usman Harun (d/h Jalan Kramat Kwitang), saya dan seorang kawan kreator konten, Bang Sigit, ikutan Pak Candrian Attahiyat, suhunya cerita masa lalu Jakarta, syuting konten.

Blusukan dimulai di titik kumpul, halte Kwitang yang baru sekali ini saya masuki. Takjub lihat pohon besar berada di tengahnya. Sebuah langkah tepat untuk tidak menebang pohon dan membiarkannya menjadi elemen pendukung yang sukses membuat suasana halte jadi adeemm.

Sambil menunggu Pak Can tiba, saya dan Bang Sigit, menunggu di Taman Gunung Agung, samping halte. Sekilas tamannya nampak seperti ruang terbuka hijau biasa saja, tapiiii ada sejarah tersimpan yang tak banyak diketahui oleh warga Jakarta. Apakah itu?

Ini dia, tiang SUTET (saluran udara tegangan ekstra tinggi) peninggalan jaman kolonial Belanda. Saya tidak menemukan tahun berapa tepatnya tiang ini didirikan, hanya ada sebuah foto di akun IG @lostjakarta yang diambil pada tahun 1941.

Tiang listrik ini dulunya mengalirkan listrik yang diproduksi oleh PLTU pertama di Batavia, di tepi sungai Ciliwung, Gambir, milik NIEM (Nederland Indische Electricitiets Maatshappij). Titik kenal saat ini adalah Kantor PLN Unit Induk Jakarta Raya, dengan ikon bangunan lawas di bagian depan yang saat ini difungsikan sebagai Stroom Cafe.

Listrik pertama kali menyala di Jakarta tahun 1897, apakah tiang sutet ini juga berasal dari tahun tersebut, saya belum menemukan jawabannya. Yang pasti tiang sutet tertua di Jakarta ini dulu ada di sepanjang Jalan Kramat Kwitang sampai ke persimpangan Senen, kemudian bercabang dua. Ke utara sampai dengan Tanjung Priok, dan ke selatan sampai dengan Cililitan. Rangka besinya masih asli, yang diganti hanya kabel dan properti pendukung lainnya.

Selain tiang sutet tua, kisah lain dari masa lalu terpendam di tanah yang sedang kami pijak. Rupanya, median jalan di kawasan ini dulunya adalah sebagian dari Defensielijn Van Den Bosch, garis pertahanan berupa parit dan gundukan tanah yang dibuat semasa pemerintahan Gubernur Jenderal Van den Bosch (1830-1833) untuk melindungi kota Weltevreden. Sekarang sudah ditimbun, sepertinya berbarengan dengan dimulainya pemasangan jalur pipa distribusi air alias waterleiding dari Bogor ke Batavia.

Pipa air yang ditanam

Jalur pipa dari jaman 1922 itu masih ada dan masih digunakan gengs. Sebagian pipanya sudah diganti, sebagian masih asli. Kata Pak Can, pipa asli berukuran 450mm, sedangkan pipa baru berukuran 600mm. Untuk tahu pipa yang ada di sini asli atau sudah diganti, mau ngga mau ya harus turun ke bawah jembatan dan lihat sendiri 😂.

Ternyata ini pipa tahun 1954 produksi Prancis gengs, jadi pipa ‘baru’ ya. Di channel Youtube Pak Can sudah pernah dibahas juga penemuan pipa air di jalur MRT fase 2. Ada yang berukuran asli, 450mm, ada yang besar 900mm dan kecil 250mm.

Masih di seputar jembatan, kalau kamu melintas di sini, akan melihat dua buah jembatan yang bentuknya serupa. Meski serupa namun usianya ternyata tak sama.

Perhatikan peta ya, yang saya tunjuk dengan panah adalah posisi jembatan. Masih kelihatan juga parit pertahanan yang saya sebut di atas tadi. Dan kelihatan juga, jalanan yang sekarang melintas di depan Gunung Agung, dulunya berhenti di sungai, belum ada jembatannya.

Jembatan Kwitang pernah terkait dengan cerita legenda Betawi di masa lampau, Nyai Dasima, yang konon dihabisi nyawanya dan dibuang mayatnya ke kali Ciliwung yang mengalir di bawahnya. Agak bergidik saya mengingat ceritanya, tapi segera hilang menyadari cerita ini masih samar kebenarannya.

Sampai sini dulu cerita Kramat Kwitangnya, lain waktu kita ubek-ubek lagi! 😁

Leave a Comment