Saya mulai cerita tentang kunjungan saya ke Subang dari sebuah patung yang awalnya sempat hilang dicuri, dan setelah kembali kemudian disimpan di Wisma Karya.


Kalau Pangalengan punya Bosscha, maka Subang punya Peter William Hofland, seorang protagonis berkewarganegaraan Belanda yang punya andil besar meletakkan dasar pertumbuhan Kabupaten Subang, melalui sebuah perusahaan yang mengelola tanah partikelir terbesar di pulau Jawa, yaitu Pamanoekan en Tjiasemlanden. (selanjutnya kita singkat jadi P&T Land saja ya, panjang gengs 😁)
P&T Land berdiri pada 1812, dengan pemilik asal Inggris, bernama Sharpnel. Luasnya kurang lebih seluas kabupaten Subang sekarang. Wilayahnya dibatasi oleh laut Jawa di sisi utara, karesidenan Cirebon di timur, dan karesidenan Preanger di barat dan selatan. Sangat besar.


Namun pada masa itu, tanah yang dikelola Sharpnel tidak terlalu produktif. Hasilnya hanya padi, kelapa dan kopi. Setelah Sharpnel mangkat, posisinya digantikan oleh Skelton yang kemudian pada 1840 menjual sahamnya pada Hofland bersaudara.
Pada 1858, P.W Hofland membeli saham milik saudaranya yang kemudian menjadikannya sebagai pemilik tunggal perusahaan perkebunan super luas, yang berkat kerja keras dan ketekunannya menjadi semakin produktif.



Selain padi dan kopi, Hofland menanam karet dan singkong (bahan baku pabrik tapioka) di sisi utara yang relatif rendah, serta kina dan teh di dataran tinggi sisi selatan Subang. Hingga kini, jejaknya masih bisa kita lihat.
Di masa Hofland, P&T Land semakin berjaya, perusahaan menjadi perusahaan raksasa di masa itu. Kita bisa membayangkan seberapa besarnya dengan melihat bangunan ex Kantor Pusat Pamanoekan en Tjiasemlanden, yang masih tersisa di pusat kota Subang.


Sayangnya, bekas kantor pusat P&T Land saat ini terbengkalai dan hanya menunggu waktu untuk hancur jika tak segera diselamatkan. Status bangunan sebagai cagar budaya rupanya malah menjadi buah simalakama bagi RS PTPN VIII sebagai pemiliknya saat ini yang berniat menjadikan lahannya sebagai area perluasan rumah sakit. Saya paham sih, merobohkan dan membangun ulang biasanya memang lebih murah dibanding harus merenovasinya. Semoga segera ada jalan keluar terbaik.
Jejak kejayaan P&T Land bukan hanya gedung ini, mumpung sudah di pusatnya kabupaten Subang, yuk kita lihat!


Bangunan berwarna hijau milik RS PTPN VIII Subang sudah sejak tahun 1914 beroperasi sebagai rumah sakit, dulu tentu saja bernama RS Pamanoekan & Tjiasemlanden dan menjadi rumah sakit tertua kedua di Jawa Barat setelah Dustira di Cimahi.
Sedangkan gedung di foto sebelahnya dulunya adalah Kantor Insinyur P&T Land, sebagian sumber menyebut dulu juga sempat berfungsi sebagai kantor percetakan uang negara sebelum sekarang dimanfaatkan sebagai kantor Satpol PP Kabupaten Subang.



Kedua bangunan ini terletak tak jauh dari Alun-alun Subang, yang dulunya adalah lapangan golf berukuran luas yang sekaligus menjadi halaman depan kediaman Tuan Hofland, yang dikenal dengan sebutan The Big House / Herenhuis.

Saat ini di Subang, ada sebuah rumah yang diberi nama The Grant House, namun jangan keliru ya, itu bukan bekas kediaman Tuan Hofland, karena bangunannya sudah dihancurkan karena dianggap jejak kolonial.
Penghancuran herenhuis menjadi sangat disayangkan. Selain karena kita jadi kehilangan jejak sejarah, sebenarnya Tuan Hofland adalah salah satu orang Belanda yang humanis. Tanah dikuasai dan dikelola namun kesejahteraan masyarakat Subang pada saat itu diperhatikan. Sebagian catatan menyebutkan penghasilan pekerja korporasinya malah lebih tinggi dibandingkan pekerja Kademangan.
Tuan Hofland hingga akhir hayatnya menetap di Subang, setelah wafat dimakamkan di Kerkhof Sukamaju.

Ketiga patung di atas makam adalah replika, yang dibuat atas prakarsa gereja setempat untuk menghormati jasa Hofland pada Subang.
Masih ada satu lagi peninggalan Tuan Hofland, yang hingga hari ini jadi landmark-nya Subang, tapi berhubung ini sudah kepanjangan, tunggu di blog berikutnya ya.