Kamu suka ngopi? Pasti banyak yang bilang suka. Kalau Kawa Daun suka? Sudah pernah coba belum?
Saya kenalan sama Kawa Daun sekitar tahun 2012an, dikenalkan kawan satu kampung halamannya pak suami di Tanah Datar, Sumatra Barat. Beliau bilang, di sana, kedai kopi tak hanya menyeduh kopi, tapi juga daunnya.
Kawa Daun berasal dari daun kopi segar yang dikeringkan dengan cara disangrai. Daun kopi kering lalu dijerang dengan air hinggal mendidih menggunakan kuali atau teko. Lalu disajikan dalam tempurung kelapa beralas potongan bambu.
Rasanya? Menurut saya sih mirip-mirip teh, ada sepet-sepetnya, jejak rasa dan harum kopi samar-samar. Kawa berasal dari kata qahwa, yang dalam bahasa Arab artinya kopi, diadaptasi menjadi Kawa Daun oleh masyarakat.
Ada cerita pahit di balik tradisi menyeduh daun kopi ini. Dalam kunjungan ke Museum Multatuli beberapa waktu lalu, ada satu ruang pamer yang khusus membahas tentang periode tanam paksa.
Periode tanam paksa yang dimulai tahun 1830 oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch di Jawa meluas hingga ke Sumatra Barat, dengan kopi sebagai salah satu komoditi andalannya.
Karena hasil panen biji kopi harus disetorkan ke penguasa untuk keperluan perdagangan, masyarakat Sumatera Barat akhirnya hanya bisa mengonsumsi daun kopinya saja untuk pelepas dahaga dan penambah energi saat bekerja. Itu lah awal mula tradisi meminum kawa daun yang berlanjut hingga sekarang.
Menyedihkan memang, tapi sisi baiknya adalah, kreativitas kuliner bangsa kita banyak muncul karena kondisi serba dalam keterbatasan di masa itu. Soto dan olahan jeroan, juga berawal dari kondisi masyarakat yang tak mampu membeli daging. Tiwul muncul karena masyarkat tak mampu membeli beras. Belajar dari ini, kita harusnya jadi lebih menghargai apa yang bisa sediakan di meja makan ya.
By the way, kawa daun yang saya cicipi waktu itu hasil seduhan sang kawan di Depok. Satu hari nanti, saya akan sesap langsung di tanah asalnya di Tanah Datar. Doakan segera gengs ššš».