Mandalawangi, Jejak Cerita Banten dari Masa Silam

Sebagai orang yang hampir ngga pernah bersentuhan sama kegiatan alam, saya ngga terlalu tahu nama-nama gunung selain yang memang sudah terkenal, entah karena fenomena atau keindahan alamnya. Maka ketika kemarin berkunjung ke Banten, saya malah ngga kepikiran sama sekali provinsi paling barat di pulau Jawa ini punya gunung. Dalam benak saya, Banten is all about beach and beach, secara tiga sisinya berbatasan dengan laut 🙈.

Kemarin, dalam perjalanan kembali ke Pandeglang dari Menes, secara tak sengaja saya memilih jalur ini dari sekian jalur yang ditawarkan google maps dan agak takjub saat melewati satu wilayah yang kalau dilihat di peta, dikelilingi tiga gunung yang membentuk segitiga, Mandalawangi namanya.

Mandalawangi dikelilingi Gunung Karang yang tertinggi, (1.778 m), Gunung Pulasari (1.364 m)  dan Gunung Aseupan (1.174 mdpl). Sekilas nampak biasa saja, sama seperti daerah dataran tinggi di tempat-tempat lain. Tapi entah kenapa, saya merasa perlu berhenti, turun, kemudian merasa tempat ini seperti menyimpan banyak cerita.

Sekembalinya di Jakarta, baru lah saya mulai cari-cari informasi tentang ketiga gunung ini. Dan, surprise surprise.. ternyata memang banyak cerita menariknya. Mandalawangi punya beberapa versi toponiminya, salah satunya adalah mengacu pada kata Sansekerta yaitu mandala, dimana kata tersebut memiliki pengertian sebagai sebuah konsep dalam mitologi Jawa-Hindu, sebagai pusat konsentrik yang berasosiasi kuat dengan pusat kekuasaan. Apakah Mandalawangi sebuah pusat kekuasaan?

Dari beberapa informasi yang saya baca, lereng gunung Pulasari yang berada di wilayah ini diyakini sebagai tempat suci di masa kerajaan Pajajaran, yang diyakini sebagai lokasi pelarian raja terakhir Sunda / Pakuan Pajajaran, Raga Mulya aka Nusya Mulya aka Prabu Suryakencana dan sebagian pengikutnya setelah Pakuan digempur habis oleh pasukan Banten. Di masa itu, Suryakencana, raja tanpa mahkota alias raja pandita bertahta di Pulasari, yang kemudian membuatnya juga dikenal sebagai Pucuk Umun / Panembahan Pulasari. Bersamanya, ada sekitar 800 ajar domas atau orang suci, yang membuat penguasa baru Banten saat itu, Maulana Hasanuddin merasa perlu menaklukkan Pulasari terlebih dahulu. Dari titik ini lah, Mandalawangi beralih peran sebagai titik penting dalam perjalanan wangsa Islam di Banten,

Hanya itu? Tentu tidak, Mandalawangi bisa terus ditarik mundur jauuuuhhh hingga ke masa Salakanagara, yang hingga saat ini juga masih menjadi perdebatan para ahli, apakah kerajaan ini benar-benar ada atau hanya mitos belaka. Jejaknya di Pulasari masih ada hingga sekarang, namanya Situs Kahunjuran Salakanagara.

Itu saja?

Tidak dong. Di lereng Pulasari ini juga tersimpan jejak kejayaan Banten, LADA! Di Desa Pandat, katanya masih bisa dtemukan bonggol-bonggol tua pohon lada yang membuat Banten masyhur di kalangan padagang mancanegara, yang membuat bangsa asing-asing mendarat di sebuah teluk di barat Banten, yang hingga kini masih disebut sebagai Teluk Lada.

Gunung berikutnya adalah Gunung Aseupan yang menyimpan cerita menarik tentang sebuah makam keramat di puncaknya, juga sebagai habitat dari tanaman Kantong Semar. Satu lagi, Gunung Karang, yang menyimpan cerita tentang Situs Sumur Tujuh.

Sayangnya, semua cerita ini saya dapat setelah di Jakarta, kemarin saat melintas saya hanya memandang ketiga gunung ini dari bawah, di titik tengahnya, dengan perasaan takjub luar biasa. Suatu hari, saya akan kembali, menjelajahi situs-situs yang sekiranya sanggup saya jelajahi. One day…

Leave a Comment