Perkenalkan. Masjid Cut Meutia, masjid yang paling sering saya datangi di Jakarta. Yang bukan orang Jakarta, bisa jadi ngga ngeh kalau ini masjid, karena bentuknya lebih mirip bangunan-bangunan yang ada di wilayah Batavia (d/h Kota Tua), bangunan kantor di era kolonial.

Ngga salah, karena awalnya ini adalah kantor biro arsitek Belanda bernama Naamloze Vennootschap Bouwploeg. Kalau cek di google translate, artinya kurang lebih perseroan terbatas yang bergerak di bidang konstruksi gitu lah. Yang jelas, biro ini yang berperan menjadikan area Menteng menjadi real estate berkonsep kota taman pertama di Jakarta (atau mungkin Indonesia?), yang jejaknya masih bisa kita lihat sampai sekarang. Selain itu, biro ini pula yang ‘berjasa’ meninggalkan nama Boplo di Jakarta. Pernah dengar kan Pasar Boplo, sekarang jadi Pasar Gondangdia, Gado-gado Boplo, semua berawal di sini. By the way, kamu nyebut wilayah ini Boplo atau Gondangdia?
Setelah tak lagi menjadi kantor biro konstruksi, bangunan ini berulang kali beralih fungsi, hingga terakhir menjadi kantor MPRS, sebelum akhirnya pindah ke Senayan. Kita perlu berterima kasih pada Jenderal A.H. Nasution, kalau bukan karena usulan beliau menjadikan bangunan ini sebagai cagar budaya, bisa jadi bangunan ini sudah lenyap. Kemudian atas permintaan warga sekitar yang tak punya tempat ibadah, seiring waktu bangunan ini menjadi masjid.

Karena memang tidak didesain untuk masjid, maka mohon maklum kalau shafnya juga harus miring, kiblatnya miring 15 derajat dari sisi tembok masjid. Kemarin semasa pandemi, saat karpetnya diangkat, kalau kita sujud, dahi nempel di lantainya, nyesssss adem banget. Khas lantai lawas.

Tampak juga bekas tangga penghubung lantai satu dan dua yang sekarang sudah dipindahkan ke sisi luar. Supaya area sholat menjadi lebih luas. Kalau kamu pernah masuk ke gedung-gedung era kolonial, vibe-nya mirip gengs, langit-langit yang tinggi makin membuat jejak kolonialnya semakin nyata.
Sebenarnya ini bukan pilihan satu-satunya, kalau kamu mencari masjid di seputar Menteng, ada Masjid Cut Nya Dien, jaraknya hanya beberapa ratus meter saja. Lalu ada Masjid Sunda Kelapa di dekat Taman Suropati, tapi saya selalu balik lagi balik lagi ke sini. Selain parkiran luas dan relatif mudah, sambil sholat, saya bisa mampir cari makan. Kalau siang, jangan ditanya, kamu ngga akan kesulitan cari makan, yang ada kamu kesulitan menentukan pilihan makan, saking banyaknya. Yang mepet masjid banget, favorit saya mie ayam dan ayam bakar, jalan sedikit ke arah stasiun, ada gudeg legendaris langganan pejabat, warung Sunda, sate padang, you name it!

Di halaman parkir, ada kedai kopi, yang bisa buat duduk santai kalau kamu ngga berniat makan berat. Kalau datangnya malam, mie ayam dan ayam bakar tadi digantikan penjual ketoprak dan bubur ayam yang selalu ramai dikerubuti para pekerja yang baru mau pulang sebelum menuju stasiun. Ada juga sate ayam di depan Hotel Sofyan yang endeeuuss. Nah jelas sudah, alasan sesungguhnya kenapa saya selalu balik ke sini. Hahaha..
Oiya, setiap tahun di sini ada kegiatan Ramadhan Jazz Festival, di halaman depan masjid selepas tarawih. Sempat terhenti dua tahun selama pandemi, Ramadhan tahun ini sudah jalan lagi. Jarang-jarang masjid punya kegiatan begini kan ya.
Kamu gimana, masjid mana yang paling sering kamu datangi di kotamu?