Begitu ada rencana berkunjung ke Kuningan, saya pastikan untuk memasukkan ini ke daftar wajib kunjung. Sebuah bangunan cagar budaya di Cigugur, Kuningan, Paseban Tri Panca Tunggal.
Tentu saja ini bukan sekedar bangunan, sesuai dengan namanya, paseban adalah tempat berkumpul, ‘rumah’ bagi kawan-kawan penghayat kepercayaan atau kerap disebut juga sebagai agama lokal Sunda Wiwitan aliran Madrais.
Sebagaimana adanya aliran Kejawen di Jawa Tengah dan Timur, saya kerap mendengar kepercayaan Sunda Wiwitan di Jawa Barat dan Banten. Yang sudah pernah saya kunjungi baru yang ada di Baduy. Apakah berbeda antara Sunda Wiwitan di Baduy dan Cigugur?
Mengapa ada tambahan aliran Madrais di belakangnya? Karena konsep-konsep kepercayaannya diperkenalkan oleh salah seorang pewaris Keraton Gebang, Pangeran Muhammad Rais a.k.a Madrais.
Kalau dilihat dari namanya, bisa ditebak, Madrais sebelumnya adalah pemeluk agama Islam, panggilannya bahkan diberikan oleh kawan-kawannya di pesantren biar ngga terlalu ribet. Perjalanan hidup memperkenalkannya dengan konsep-konsep mistis, kebatinan, filosofi masyarakat Jawa, dan tradisi leluhur Sunda, yang ia padukan menjadi sebuah kepercayaan baru. Perpaduan dua budaya ini pula yang membuat aliran Madrais juga dikenal dengan Agama Jawa Sunda (Jasun).
Kemarin saya diterima dengan baik oleh Pak Subrata, salah satu penghayat Sunda Wiwitan di Cigugur, beliau menjelaskan bahwa konsep utama kepercayaan ini adalah mengolah tiga atau tri kekuatan utama manusia, cipta, rasa dan karsa agar dapat selaras dalam kebaikan.
Cipta rasa karsa yang selaras dalam kebaikan idealnya mewujud dalam sikap dan perilaku yang melibatkan panca indera manusia. Yang seluruhnya menuju pada satu kekuasaan tertinggi yang disebut Gusti nu Agung Sang Hyang Keresa (Yang Maha Kuasa), atau Batara Tunggal (Yang Maha Esa), atau Batara Jagat (Penguasa Alam Semesta).
Akhirnya saya paham, mengapa bangunan cagar budaya yang dibangun tahun 1840 ini disebut Paseban Tri Panca Tunggal. Setiap tahun, secara rutin di sini diselenggarakan upacara adat Seren Taun, yang diselenggarakan satu tahun sekali, di tanggal 22 Rayagung, bulan terakhir dalam Tahun Saka Sunda.
Upacara adat Seren Taun intinya adalah persembahan hasil panen sebagai ucapan syukur atas setahun yang telah dilewati serta memohon berkah dan perlindungan kepada untuk tahun berikutnya. Kalau di Jawa Tengah dan Timur, saya mengenalnya sebagai Sedekah Bumi. Tahun 2024, rangkaian adat Seren Taun akan jatuh di akhir Juni, yang berminat mengikuti bisa follow akun Seren Taun Cigugur untuk dapat update informasinya.
Kalau kamu berkunjung, kamu bisa lihat perpaduan budaya yang cukup jelas. Ada nuansa-nuansa Jawa di bangunan utama, sebutan-sebutannya pun Jawa banget, Pagelaran, Srimanganti, Jinem. Dan ada pula yang mirip-mirip suasana di Bali, karena ada bangunan-bangunan beratap meru.




Di seberang, di lahan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Tri Mulya, sekolah swasta yang dikelola oleh masyarakat penghayat Sunda Wiwitan Cigugur, ada bangunan berbentuk unik, sayangnya saya belum dapat informasi yang cukup tentang bangunan ini.

Lalu, bagaimana kah masyarakat penghayat Sunda Wiwitan hidup berdampingan dengan masyarakat? Secara umum, mereka hidup aman tenteram dalam suasana toleransi yang baik. Pak Subrata bahkan menginformasikan, adalah hal yang biasa dalam satu KK terdapat anggota keluarga dengan agama dan keyakinan yang berbeda. Masyarakat sekitar juga antusias mengikuti kegiatan tahunan Seren Taun, karena juga sudah menjadi agenda pariwisata di Kuningan.
Namun, masih ada juga hal-hal yang masih jadi pekerjaan rumah pemerintah. Ada konflik sengketa tanah adat yang belum terselesaikan, pembongkaran bangunan makam oleh masyarakat yang kurang paham karena dianggap berhala yang mengancam akidah, juga keinginan para penghayat untuk bisa menuliskan Sunda Wiwitan di kolom agama di KTP. Selama ini tertulis penghayat kepercayaan atau mereka memilih mengosongkannya saja. Sunda Wiwitan dan kelompok aliran kepercayaan di Indonesia memang tidak termasuk dalam enam agama yang diakui oleh Pemerintah yang dibina oleh Kementerian Agama. Aliran kepercayaan berada dalam pembinaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Perlu dialog lebih intensif untuk merumuskan dan menyelesaikan ini sepertinya.
Kita bisa juga kok dalam skala kecil mengupayakan kedamaian hidup dalam keberagaman. Niat saya berkunjung ini juga untuk kenalan, ngobrol. Tentu saja saya tak akan menemukan kebenaran, kita masing-masing punya patokan kebenaran yang berbeda untuk urusan keyakinan kan? Tapi saya yakin saya akan menemukan kebaikan-kebaikan universal. Yang seperti Pak Subrata bilang kemarin, kalau tiap pemeluk agama teguh dalam prinsip-prinsip kebaikan itu, harusnya jalan raya akan tertib, hubungan dengan tetangga harmonis, tidak ada korupsi, tidak ada masyarakat miskin yang terlantar. Sepakat dengan Pak Subrata? Kalau saya sih, yes!