Kembali ke Masa Lalu Melalui Lorong-lorong Laweyan (1)

Ketika memasukkan Laweyan dalam daftar wajib kunjung saya di Solo, saya membayangkan akan menemui sebuah kawasan batik semacam Trusmi di Cirebon, ramai dengan wisatawan berbelanja  batik di toko-toko yang berderet sepanjang jalan.

Namun ketika saya memasuki Jalan Sidoluhur, jalan utama di Kampung Batik Laweyan, yang saya jumpai sungguh di luar bayangan. Jalan yang tak terlalu lebar ini cenderung hening, yang lalu lalang tampaknya warga setempat saja. Suasananya kadang terasa seperti di Kotagede atau Lasem. Plang nama toko masih banyak terlihat, pertanda meski tak sejaya dulu usaha batik di sini masih bertahan.

Tapi Laweyan saya pilih bukan karena mau belanja batik. Melainkan mau ke tempat dimana kisah legendaris Mbok Mase berasal. Mbok Mase adalah juragan batik perempuan yang gigih dan ulet, disegani karena ketangguhan dan keberhasilannya, namun juga dikenal sebagai perempuan yang trampil menjalankan fungsi domestiknya di rumah.

Sampai di sini, sisa energi Mbok Mase belum bisa saya tangkap. Tenang, ini baru permulaan. Setelah dikejutkan oleh Masjid Laweyan yang menyimpan kisah selain batik di kawasan ini, saya kok jadi penasaran akan kejutan-kejutan berikutnya.

Laweyan adalah kawasan yang sangat tua. Desa ini sudah ada sebelum munculnya kerajaan Pajang, demikian juga pasarnya. Pasar Laweyan sudah ngga ada, tugu ini lah penggantinya. Konon, di sini lah dulu aktivitas perdagangan lawe (kapas yang dipintal untuk jadi bahan baku tenun) berada.

Dalam sebuah buku, saya baca Laweyan menjadi semakin ramai sejak Kyai Ageng Henis bermukim di sini, tepatnya di sebelah utara Pasar Laweyan. Setelah ia mangkat, rumahnya ditempati oleh leluhur raja Jawa, Bagus Danang Sutawijaya, atau lebih dikenal sebagai Raden Ngabehi Loring Pasar (Laweyan), yang di kemudian hari bergelar Panembahan Senopati.

Maka saat berada di sini kemarin, saya menghadap ke utara, arah Jalan Dr Rajiman, bertanya-tanya, rumah yang mana ya yang beruntung menempati bekas rumah beliau ini? Bersejarah lho 😁😁.

Tugu Pasar Laweyan berada di sebuah perempatan di Jalan Sidoluhur. Sisi utaranya sekarang disebut Kampung Lor Pasar Mati, dan sebaliknya sisi selatannya adalah Kampung Kidul Pasar Mati. Lebih ke selatan lagi ada sebuah sungai yang dulu jadi urat nadi transportasi masyarakat Laweyan.

Kelihatannya ini cuma sungai biasa saja. Tapi sesungguhnya sungai yang sempat saya sebut di post sebelum ini, adalah saksi sejarah. Di masa Pajang, disebut sungai Kabanaran dan merupakan jalur utama transportasi serta perdagangan karena terhubung langsung dengan Bengawan Solo. Di tepinya pernah ada sebuah bandar atau pelabuhan sungai, bernama sesuai nama sungainya, Bandar Kabanaran.

Pedagang yang akan berjual beli datang dan pergi melalui bandar yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari Pasar Laweyan. Agak sulit membayangkan ramai perahu yang mondar mandir menuju bandar yang lebih besar di tepian Bengawan Solo, karena sungai yang sekarang disebut Jenes ini hanya menyisakan alur sungai yang dangkal, air hitam, banyak sampah dan berbau cukup tajam.

Kemunduran Bandar Kabanaran disebabkan karena adanya pembangunan jalan raya dan disusul oleh rel kereta api. Pedagang beralih ke moda transportasi darat yang lebih cepat.

Perjalanan saya lanjutkan, dan akhirnya sampai lah saya di the legendary lorong Laweyan. Dinding-dinding menjadi tampak menjulang lebih tinggi karena berdiri di lorong yang tidak terlalu lebar.

Siapa pun yang berada di luar tembok ini pasti penasaran, apa yang tak ingin dilihat dengan membangun tembok setinggi ini? Rupanya ini taktik para juragan batik untuk melindungi motif andalannya dari mata para kompetitor. Aahh bisa dimengerti sih.

Tapi ada alasan lain yang agak mengejutkan. Dalam buku Perempuan Laweyan terbitan Kemendikbud, disebutkan para perempuan juragan batik alias mbok mase, membangun tembok tinggi sebagai bentuk ‘perlawanan’ terhadap gaya hidup foya-foya, gila hormat dan poligami para ningrat yang berada di balik tembok keraton tanpa harus bekerja keras. Kalau dilihat-lihat ini memang mirip-mirip tembok keraton sih ya 😁.

Mbok mase seakan ingin mengatakan, dengan kerja keras aku pun bisa punya memiliki kekayaan yang cukup untuk membuatku pantas memiliki rumah bertembok tinggi bak benteng keraton. Semakin berada, semakin tinggi tembok yang dibangunnya. Dan memang pada masa itu, status sosial mereka setara dengan para ningrat.

Aduh, akhirnya jejak spirit para mbok mase bisa saya rasakan juga! Andai mereka masih ada saat saya berkunjung kemarin, rasanya pingin ketuk rumahnya untuk bertemu dan bilang, “Keren banget sih, gue suka gaya lo!”.

Sebagai seorang yang sangat suka menyendiri, saya merasakan ketenangan yang teramat sangat ketika saya menyusuri lorong Laweyan yang lebarnya tak seberapa dengan deretan rumah, berdinding tinggi dan berpintu besar tertutup rapat, tak menyisakan celah untuk melihat apa yang ada di baliknya.

Kalau bisa milih saya juga mau tinggal di rumah berdinding tinggi dan tertutup rapat begini, dan bukan rumah tanpa pagar yang saya huni sekarang 😁😁. Tapi kalau saya yang punya rumah, pintu kecil yang menyatu dengan daun pintu besarnya, tentu saja dibuka tutup untuk keperluan-keperluan terima surat atau paket, atau lewat-lewatannya Otung the Cat, kucing keluarga kami, bukan seperti fungsi awal pintu-pintu kecil di Laweyan ini dibuat.

Lumayan terperanjat saya denger cerita dari pemandu saya hari itu, bahwa pintu besar hanya boleh dilewati juragan. Pekerja lewat pintu kecil, yang dengan sendirinya harus laku ndodok, alias jalan jongkok untuk bisa melewatinya. Cukup ironis ini sebenarnya, kalau mengingat Laweyan adalah simbol ‘perlawanan’ terhadap gaya hidup ningrat keraton.

Oke Bubu, cukup etos kerja mbok mase aja yg perlu kamu tiru, gak jadi lah punya rumah tembok tinggi. Gak cocok sama jiwa proletarmu 😁, kalau mau menyendiri cukup cabut bel dan tinggal pesan ke pak satpam aja, lagi mau hibernasi ngga mau diganggu 🀣.

Dan ini lah rupanya yang tersembunyi di balik dinding tinggi dan pintu besar, rumah-rumah priyayi Laweyan yang coba aja liat pakai satelite viewnya gmaps gedenya seberapa 😁.

Menurut cerita, hampir semua rumah-rumah besar ini memiliki bunker, untuk fungsi perlindungan dan penyimpanan. Satu-satunya yang masih tersisa adalah bunker Setono, di sebuah rumah yang sayangnya saat mampir kemarin penjaganya sedang tidak berada di tempat.

Nah, di salah satu artikel yang saya baca, bunker Setono ini dulunya untuk penyimpanan opium yang didaratkan di Bandar Kabanaran tadi, jaraknya hanya 200 meter selatan rumah bunker. Yang pernah ke Lasem, pasti langsung keinget Lawang Ombo. Hmmmn, menarik, ada opium juga rupanya di Laweyan.

Dan finally, kisah penelusuran lorong Laweyan, ditutup oleh kisah tentang Langgar Merdeka. Lokasinya di pertemuan ujung Jalan Tiga Negeri dan Jalan Radjiman. Kalau ngga perhatikan betul tulisan yang ada di dindingnya, bangunan ini lebih mirip ruko jaman dulu dan bukan langgar/musholla kan?

Langgar Merdeka ini memang menempati bangunan bekas toko. Bukan toko sembarang toko gengs, bangunan yang dibangun tahun 1877 ini dulunya adalah kios pedagang candu/opium yang menyuplai para pekerja usaha batik di Laweyan.

Dialihfungsikan jadi langgar di tahun 1945 dan diberi nama Merdeka. Lalu sempat ganti nama lagi jadi Al Ikhlas di tahun 1949, karena londho yg comeback akan memberangus semua hal yang ada bau-bau merdekanya, sekarang sudah kembali bernama Langgar Merdeka.

Masih banyak kisah dari Laweyan ini sebenarnya, tapi karena sudah cukup panjang, mungkin nanti akan saya lanjutkan di blog yang lain.

Oya, untuk berkunjung ke Laweyan ini, tidak ada tarif masuk, kecuali kamu mau ikutan workshop membuat batik dan lain-lain. Siapkan kaki atau sepeda dan peta saja, karena harus jalan kaki menyusuri lorong-lorong kecil yang tak nyaman ditelusuri dengan kendaraan bermotor.

Kalau takut nyasar, pakai pemandu seperti yang saya lakukan kemarin. Kamu bisa hubungi Mas Fathan, dari Soerakarta Walking Tour. Kalau waktunya pas, kamu bisa ikutan regular walking tour ke Laweyan, kalau tidak, bisa privat juga kok, biaya super terjangkau.

Selamat menembus lorong waktu di Laweyan!

Leave a Comment