Sampai juga akhirnya ke tempat yang selama ini hanya saya baca di buku sejarah atau himpunan pengetahuan umum. Linggarjati, meski begitu akrab dengan namanya, ingatan saya hanya sebatas pernah ada perundingan di sini, selebihnya samar. Jadi mari kita masuk saja untuk mendapat informasinya.

Di ruangan pertama, pengunjung akan menjumpai diorama suasana perundingan yang terjadi 78 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 11-13 November 1946. Selain diorama, ada papan berisi pasal-pasal yang disepakati dalam perundingan tersebut dan maket gedung perundingan. Ruangan ini dulunya sepertinya digunakan sebagai ruang penghubung antara ruang utama dan dapur.



Dan inilah ruang utama, berukuran kurang lebih 15 x 5 m, dibuat mendekati suasana asli saat perundingan berlangsung berdasarkan foto dokumentasi. Meja panjang hijau adalah meja tempat para delegasi berunding, sedangkan meja bulat diisi para notulen / pencatat perundingan.
Di meja, ada papan nama yang menunjukkan posisi tempat duduk para peserta perundingan, dan di dinding terpajang foto-foto dokumentasi suasana perundingan yang membantu pengunjung membayangkan apa yang terjadi di masa lampau.
Delegasi Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir sebagai ketua, didampingi oleh A.K. Gani, Susanto Tirtoprojo dan Mohammad Roem. Delegasi Belanda diwakili oleh Wim Schermerhorn sebagai ketua, didampingi oleh Max van Poll, H.J. van Mook dan F. de Boer. Sementara yang berperan sebagai mediator adalah Lord Killearn, dari Inggris.
Yang dirundingkan apa?
Jadi, pasca Jepang menyerah kalah pada Sekutu, Jepang punya kewajiban menjaga wilayah Indonesia dalam keadaan status quo, atau sebagaimana kondisi terakhir saat Jepang berkuasa, sembari menunggu masuknya tentara Sekutu ke wilayah Indonesia. Nah, di momen itu, terjadi peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno Hatta atas desakan kelompok pemuda yang mendengar bahwa Jepang sudah kalah. Pihak Indonesia merasa sudah merdeka, sementara Belanda merasa Indonesia masih dalam penguasaan Sekutu yang mengalahkan Jepang. Terjadi lah konflik antara NICA yang membonceng Sekutu dengan pihak Indonesia.
Konflik mengenai kedaulatan Indonesia ini yang diupayakan dicari titik temunya di Perundingan Linggarjati, setelah perundingan sebelumnya yang diadakan di Hoge Veluwe pada 14-15 April 1946 menemui jalan buntu.
Perundingan Linggarjati menghasilkan 17 pasal kesepakatan, yang highlight-nya ada pada empat poin berikut:
- Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura.
- Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
- Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
- RIS harus tergabung dalam Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni
Hasil perundingan ini ditandatangi tiga bulan sesudahnya di Istana Merdeka (d/h Rijkwick Paleis), dan meski isinya tidak sepenuhnya menguntungkan Indonesia, perundingan Linggarjati tercatat sebagai salah satu jejak perjuangan diplomasi Indonesia untuk mendapatkan pengakuan dunia atas proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Dan seperti yang kerap terjadi di masa kini, langkah-langkah yang dibuat oleh para pengambil kebijakan saat itu juga mendapatkan pertentangan dari berbagai kelompok di dalam negeri karena dianggap merugikan Indonesia.

Sebuah poster berisi ajakan untuk tetap bersatu setelah adanya Perjanjian Linggarjati terpasang di dinding ruangan tempat Lord Killearn menginap, di ruangan ini pula Soekarno Hatta bertemu dan mengadakan pembicaraan sebelum dimulainya perundingan hari pertama. Kedua proklamator ini tidak mengikuti jalannya perundingan, Apa saja yang dibicarakan? Saya belum menemukan catatan tentang ini.


Lord Killearn sebagai mediator perundingan seorang diri menempati kamar khusus terpisah dari anggota delegasi lainnya. Kamar VIP lah ibaratnya, yang punya ruang tamu dan kamar mandi terpisah.




Anggota delegasi lainnya menempati kamar-kamar tidur yang tak kalah nyaman. Ruangannya lebar, masing-masing memiiki jendela dan pintu besar ke beranda dengan pemandangan indah ke arah perkebunan teh yang mengelilingi gedung. Saat ini perkebunan tehnya sekarang sudah menjadi halaman luas yang rindang dan sejuk.






Merasa suasananya mirip vila atau hotel? Kamu nggak keliru. Saat digunakan sebagai tempat perundingan, bangunan ini memang sedang berfungsi sebagai sebuah hotel, bernama Hotel Merdeka. Tentu saja nama ini baru dipakai setelah kemerdekaan Indonesia. Sebelumnya, di masa pendudukan Jepang bernama Hotel Hokai Ryokan, dan sebelumnya lagi di masa pendudukan Belanda bernama Hotel Rustoord, yang dioperasikan oleh Theo Huitker yang menyewa dari Jacobus Van Os.
Awalnya, pada tahun 1918, berdiri sebuah gubuk di lahan perkebunan teh seluas kurang lebih dua puluh hektar milik Ibu Jasitem, seorang janda yang kemudian dinikahi oleh Tuan Mergen yang lebih dikenal sebagai Tuan Tersana (karena bekerja di Pabrik Gula Tersana Cirebon). Tahun 1921, Tuan Tersana membangun sebuah bangunan semi permanen, kemudian menjualnya pada Van Os, karena hendak kembali ke Belanda beserta istrinya. Van Os kemudian membangun rumah seluas 800 meter persegi ini pada tahun 1930.
Kondisi bangunannya masih kokoh. Sebagian besar komponen bangunannya masih asli, penggantian kayu hanya pada rangka atap yang lapuk dimakan usia. Kalau barang-barangnya, yang asli, hanya tersisa sofa di ruang tamu, piano dan meja beserta kursi makan di ruang makan, selebihnya hilang saat gedung ini berkali-kali berpindah tangan. Pasca perundingan, gedung ini sempat menjadi markas tentara Belanda pada masa agresi militer I dan II tahun 1947-1950, kemudian berubah fungsi lagi menjadi Sekolah Rakyat Linggarjati dari tahun 1950-1975. Baru pada tahun 1976, gedung ini diserahkan ke negara untuk dijadikan museum.
Tapi bagaimana ceritanya sih, kok bisa perundingannya berlangsung di sini? Pemilihan lokasi perundingan ini diawali penolakan oleh pihak Belanda untuk berunding di Yogyakarta sebagai ibukota sementara Republik Indonesia, sementara pihak Indonesia menolak berunding di Jakarta karena masih dikuasai tentara Belanda. Kemudian dipilihlah Hotel Merdeka di Linggarjati, Cilimus, Kuningan karena dianggap netral dan berada di tengah antara Jakarta dan Yogyakarta atas usulan Maria Ulfah, Menteri Sosial pertama yang kebetulan juga merupakan putri dari R. Mohammad Ahmad yang pernah menjabat sebagai Bupati Kuningan.
Saat ini, Gedung Perundingan Linggarjati berada di bawah Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang dan dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan. Saya berkunjung di bulan Ramadan, suasananya sangat sepi, namun di akhir pekan di luar bulan Ramadan, pengunjungnya cukup ramai. Kebanyakan adalah kunjungan siswa sekolah, ada juga kunjungan wisatawan Belanda yang merasa punya keterikatan dengan gedung ini. Masukkan juga ke dalam daftar wajib kunjungmu ya, cuma perlu kurang lebih tiga jam lewat tol dari Jakarta. Selain napak tilas sejarah, kamu juga bisa mengistirahatkan mata, menikmati keindahan rumah dan udara sejuk di kaki Gunung Ciremai.
📍Gedung Perundingan Linggarjati
Jl. Naskah no 106
Desa Linggarjati, Kec. Cilimus,
Kabupaten Kuningan, Jawa Barat
Jam buka:
• Senin - Minggu: 07.30 - 17.00
• Tiket dewasa: Rp 10.000
• Tiket anak-anak: Rp 5.000
• Parkir mobil: Rp 5.000