Mengenal Masjid Kwitang, Bagian Sejarah Islam di Jakarta

#masjidtuajakarta

Jadi ceritanya, Selasa (15 November 2022) siang kemarin, mendekati waktu dzuhur, saya sedang mengurus pekerjaan di seputar Salemba. Biasanya kalau sedang di wilayah sana, saya mampirnya ke musholla Gramedia atau masjid UI. Kemarin masih cukup waktu, saya coba cari-cari masjid lain di gmaps, muncul salah satunya, Masjid Al Riyadh, Kwitang. Waaa, masjid ini sudah jadi incaran saya dalam rangkaian kunjungan ke masjid-masjid tua di Jakarta. Oke, meluncur lah saya ke sana.

sumber: Sindonews

Masjid Al Riyadh didirikan oleh Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, yang kemudian lebih kita kenal sebagai Habib Ali Kwitang. Tahun pendirian masjid masih belum didukung data yang valid, dari banyak referensi yang saya baca, perkiraan yang paling masuk akal menurut saya sih di sekitar tahun 1910an.

Pada awalnya hanya berupa surau berupa rumah panggung berbahan kayu, bernama Al Makmur. Sempat terbakar dan setelah direnovasi, diresmikan dan diberi nama Masjid Khuwatul Ummah yang bermakna “kekuatan umat” oleh Presiden Soekarno, pada tahun 1963. Namun dalam perjalanannya, diubah lagi namanya menjadi Masjid Jami Al-Riyadh, atau Taman Surga, atas anjuran guru beliau di Hadramaut. Belum diketahui apa latar belakang pengubahan nama ini.

Presiden Soekarno diketahui cukup dekat hubungannya dengan Habib Ali Kwitang. Pak Ari, salah satu penjaga masjid yang menemani saya kemarin, bercerita bahwa Soekarno pernah dicari Belanda dan disembunyikan di masjid ini selama hampir dua bulan. Tak hanya itu kontribusinya dalam proses kemerdekaan Indonesia. Para tokoh kemerdekaan sering mengadakan pertemuan di sini, bahkan Habib Ali Kwitang dimintai nasihat oleh Soekarno terkait dengan penentuan tanggal proklamasi kemerdekaan. Sebuah fakta sejarah yang jarang diceritakan ya?

Masjid Al Riyadh saat ini lebih dikenal masyarakat sebagai Masjid Kwitang. Didominasi warna putih, tidak terlalu besar dan tidak bisa diperluas lagi, karena letaknya yang berada di tengah permukiman warga. Begitu masuk pandangan saya tertambat pada lampu gantung atau chandelier di tengah-tengah empat pilar besar di bagian depan.

Andai saja saya berkunjung di malam hari, pasti indah saat lampunya menyala. Lampu ini kalau dilihat-lihat mirip dengan lampu gantung di masjid Cut Meutia Menteng.

Selain lampu gantung ini, hal menarik lain adalah mimbar kayu berukir yang usianya juga sudah cukup tua. Kamu yang sering berkunjung ke masjid-masjid tua pasti sering melihat mimbar serupa ya.

Dua mihtab dalam masjid

Nah, yang lebih menarik lagi. Ada dua mihrab atau tempat imam berdiri di sini. Mihrab aslinya berupa ceruk di dinding tak lagi digunakan untuk ibadah sehari-hari. Imam akan menempati posisi sajadah merah dilatarbelakangi sekat papan. Mihrab asli hanya digunakan saat ada ulama-ulama besar datang berkunjung dan memimpin shalat, bentuk kerendahhatian pengurus harian masjid. By the way, ceruk itu dulu sering digunakan sebagai tempat sholat oleh Soekarno. Merinding saya waktu mendekat, membayangkan doa-doa apa yang kira-kira dipanjatkan oleh beliau di masa sulitnya bangsa dan negara kita.

Selain digunakan sebagai tempat ibadah, di lantai dua ada madrasah yang digunakan oleh anak-anak sekitar masjid belajar mengaji. Di hari-hari tertentu, seperti Jumat atau hari-hari raya madrasah ini digunakan sebagai tempat sholat juga untuk menampung jamaah yang lebih banyak.

Nah, fakta menarik lain dari masjid Kwitang yang saya juga baru tahu adalah: metode dakwah Habib Ali Kwitang ini menjadi cikal bakal majelis ta’lim di Jakarta (atau bahkan mungkin di Indonesia?). Untuk menampung jamaah yang semakin banyak, berdirilah Islamic Center Indonesia, yang sampai saat ini masih rutin menyelenggarakan majelis yang dihadiri ribuan jamaah, dan lebih dikenal sebagai Majelis Kwitang, lokasinya hanya sekitar 200 meter dari masjid.

Masjid Al-Riyadh bukan sekadar tempat beribadah, namun juga kerap didatangi para peziarah. Wafat pada Oktober tahun 1968, Habib Ali Kwitang dimakamkan di sisi luar masjid. Ada tiga makam selain persemayaman Habib Ali, yaitu makam putra dari Habib Ali, Habib Muhammad bin Ali Al Habsyi (generasi kedua), dan istrinya Syarifah Ni’mah, serta Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Ali Al Habsyi (generasi ketiga). Sekitar 30 menit saya berada di sana kemarin, tak putus rombongan peziarah yang datang, meski tidak dalam jumlah besar. Rombongan besar biasanya hadir di hari-hari tertentu.

Salah satu jalan masuk menuju masjid

Masjid Al Riyadh berada di sudut pertemuan Jalan Kembang IV dan VI, posisi mudahnya sekitar 300 meter di belakang Toko Buku Gunung Agung Kwitang. Untukmu yang membawa mobil, akan lebih mudah masuk dari jalan di samping toko buku ini. Lurus saja mengikuti jalan di sisi sungai, sampai ujung, lalu parkir dan lanjut berjalan kaki. Atau dari Jalan Habib Ali Kwitang (d/h Jalan Kramat Kwitang), masuk lewat Jalan Kembang (seberang markas marinir Kwitang), parkir di sisi gedung Majelis Kwitang, lanjut berjalan kaki.

Kalau hendak berziarah, seperti yang tertera dalam papan pengingat di sisi masjid. Niatkan berziarah untuk mendoakan ahli kubur, dilarang keras membawa dupa, meletakkan air di atas makam, pelihara niat untuk berdoa dan meminta hanya kepada Allah agar terhindar dari dosa syirik.

📍Masjid Al-Riyadh Kwitang 
Jl. Kembang VI No.4A, RT.1/RW.2Kwitang, Kec. Senen, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10420

Selamat berkunjung.

Leave a Comment