Sulah Nyanda, Rumah Adat Suku Baduy

#bubusababaduy5

Memasuki kampung-kampung di Desa Kanekes, kita akan menjumpai deretan rumah penduduk yang dibangun berhadapan, seragam baik bentuk maupun warna, berderet teratur dengan arah yang sama macam kawasan komplek perumahan di kota besar.

Deretan rumah ini menghadap ke jalan setapak yang dibuat dari pecahan batu kali. Bila dilihat dari kejauhan, nampak seperti lorong yang estetis. Tak heran kalau selain jembatan bambu, ini menjadi salah satu iconic spot, favorit para pengunjung untuk berfoto.

Lorong antara deretan rumah

Foto di atas adalah deretan rumah yang belum terlalu jauh dari gerbang masuk desa dari arah Ciboleger. Tampak cukup meriah karena hampir semua serambi depan rumah penduduk dipenuhi display barang kerajinan tangan asli produksi Baduy.

Setelah melewati beberapa kampung maka suasana akan berubah. Jarak antar rumah lebih jauh, suasana lebih tenang, jumlah pengunjung yang nampak juga semakin berkurang, bisa jadi terseleksi karena medan jalan yang semakin menantang.

Kalau kita ke Baduy, kita tidak akan kesulitan menentukan arah mata angin, karena rumah-rumah di sini semua menghadap utara selatan, kecuali rumah pemuka kampung atau jaro, yang juga diposisikan lebih tinggi dari rumah-rumah masyarakat.

Rumah panggung berpondasi batu kali

Bangunan rumah masyarakat Baduy berbentuk rumah panggung. Badan rumah tidak langsung menempel tanah, melainkan ditopang oleh tiang-tiang kayu yang ditahan oleh susunan batu kali. Batu kali juga digunakan untuk menahan tanah agar tidak longsor.

Rumah dibangun dengan material yang dapat ditemukan di hutan sekitar desa. Tiang-tiang penyangga rumah dibuat dari balok kayu besar, dinding dari anyaman bambu, atap dari bambu yang diikat ijuk lalu ditutup anyaman daun nipah. Semua dibuat secara swadaya dan bergotong-royong. Tanpa semen, tanpa material bangunan modern, kecuali paku di Baduy Luar.

Persiapan pembangunan rumah baru

Ketika berada di sana, saya sempat melihat beberapa rumah yang baru dan sedang dibangun. Kalau sempat mengikuti catatan perjalanan saya sebelum-sebelumnya, pasti sudah melihat bagaimana kontur tanah di sini. Dan karena masyarakat Baduy terikat pikukuh / aturan adat: “Gunung teu meunang dilebur. Lebak teu meunang diruksak”, rumah dibangun dengan mengikuti kontur lahan, tidak ada tanah yang diratakan secara berlebihan.

Ada yang menarik, warga yang tidak memiliki tanah keluarga yang cukup luas untuk membangun rumah baru akan membelinya dari keluarga lain. Sebuah rumah membutuhkan sebidang tanah berukuran 9 x 12 meter, dan pembayarannya menggunakan emas, bukan uang tunai, seberat 25 gram.

Proses pembangunan rumah juga tidak bisa semau-maunya, ada ritual yang harus dilalui, dilaksanakan di waktu-waktu yang diperhitungkan secara adat, termasuk bentuk bangunannya, semua seragam.

Rumah adat suku Baduy disebut sulah nyanda. Sulah maksudnya daun yang menutupi atap rumah, nyanda maksudnya bersandar. Atap rumah ini memiliki kemiringan tertentu yang kalau dilihat-lihat nampak seperti bersandar.

Rumah dibangun berbentuk persegi, dengan satu pintu di bagian depan, tanpa jendela. Yapp tanpa jendela, ventilasinya justru berupa lubang di lantai. Terdiri dari tiga bagian utama. Yang pertama adalah sosoro, atau serambi depan, biasa digunakan untuk menerima tamu atau aktivitas menenun oleh para perempuan Baduy.

Kedua, tepas, ruang tengah atau ruang keluarga. Digunakan sebagai tempat berkumpul dan tidur. Selain anggota keluarga dilarang masuk ke bagian ini. Dan ketiga, imah, bagian belakang yang digunakan untuk memasak dan menyimpan perkakas.

Tumpukan kayu bakar

Di sisi luar rumah hampir bisa ditemukan tumpukan kayu bakar yang digunakan untuk memasak dengan menggunakan tungku.

Suasana kampung yang bersahaja

Suasana kehidupan yang tenang dan bersahaja sungguh terasa di sini. Membuat saya otomatis teringat dan menyenandungkan bait-bait lagu God Bless.

Hanya bilik bambu tempat tinggal kita. Tanpa hiasan, tanpa lukisan. Beratap jerami, beralaskan tanah. Namun, semua ini punya kita.

Leave a Comment